71 : Kemarahan Arsya

13K 712 5
                                    

☁☁☁

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

☁☁☁

Arsya berdecak malas saat beberapa orang datang mengunjungi apartementnya membawa beberapa pakaian. Seperti celana bahan, jas, juga kemeja serta dasi dan sepatu.

"Pa, papa pikir Arsya gak punya semua ini?!" tanya Arsya seraya memijat pangkal hidungnya dengan handphone yang menempel di telinga kanannya.

"Memang gak punyakan? Orang isi lemarimu hanya kaos hitam putih dan jeans sobek-sobek gak layak pakai. Mana punya kamu pakaian formal gitu?" sahutnya membuat Arsya semakin berdecak.

"Terus papa pikir selama ini Arsya ke kantor, rapat sana-sini pake baju apa hah?!" ucap Arsya lagi dengan emosi tertahannya.

"Yaudahlah, sekarang kamu siap-siap. Nanti supir papa jem--."

"Gak usah sendiri aja!"

Tanpa menunggu jawaban dari sang papa, Arsya langsung menutup sambungan telepon itu. Ia menatao datar nan dingin orang-orang suruhan papanya.

"Pergi!" usirnya kasar padahal orang-orang itu umurnya di atas Arsya.

"Tap--."

"Gue bilang pergi sekarang!" suara Arsya terdengar sangat dingin dan penuh dengan penekanan.

Ia menjatuhkan tubuhnya di sofa, memejamkan matanya sejenak sebelum kembali pada kenyataan bahwa satu jam lagi ia harus ikut sang papa untuk menghadiri satu acara perusahaan. Sebenarnya ia malas, sangat malas dan berniat untuk menyuruh sekretaris pribadinya saja yang datang. Tapi sang papa tetap memaksanya untuk datang, sekalian memperkenalkan dirinya pada rekan-rekan kerja yang lain.

Hubungannya dengan Hendra memang mulai membaik. Arsya membuka matanya lebar-lebar dan melihat bagaimana sang papa bahagia dengan wanita pilihannya. Lambat laun ia mulai menerima kehadiran wanita itu, walau masih terasa sangat canggung.

"Arsya, papa ...."

"Kalo papa bahagia ... Arsya izinkan papa sama tante Sinta," ucap Arsya setelah berdiam cukup lama.

Hendra dan Sinta tentu terkejut mendengar tuturan kata dari mulut Arsya itu.

"Arsya kalo kamu memang tidak setuju, tante gapapa. Jangan dipaksakan," ucap Sinta, bagaimana pun juga ia tidak mau jika Arsya menyetujuinya karena terpaksa.

Arsya menghela nafasnya pelan, ia menatap kedua orang dewasa itu dengan raut datar. Perasaannya berkecamuk, ia tidak setuju tapi ia juga tidak bisa menahan kebahagiaan papanya. Bagaimana pun juga ia sangat menyayangi sang papa dan ia tahu bahwa papanya masih me butuhkan seorang istri bahkan diumurnya yang sekarang. Tak bisa dipungkiri bahwa ia juga membutuhkan sosok ibu.

Dan jika dilihat-lihat, Sinta dengan mamanya sangatlah berbeda. Walau tetap sang mama mempunyai posisi tersendiri di hatinya yang membuatnya dengan mudah menghancurkan perasaannya. Sinta terlihat sedikit lebih lembut, baik dari tutur kata ataupun perlakuan. Dan yang paling penting, yang Arsya lihat paling menonjol adalah bagaimana cara Sinta menghormati papanya. Jika diingat-ingat lagi, mamanya tidak pernah sesopan itu dalam memperlakukan sang papa.

Arsyanendra storyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang