E P I L O G

16.9K 935 194
                                    

☁☁☁

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

☁☁☁

Paris membantu mendorong kursi roda Nala untuk memasuki ruangan Arsya. 10 menit yang lalu, lelaki itu sudah sadar dan Hendra--papanya baru saja keluar dari ruangan. Arsya meminta agar Nala yang selanjutnya, maka Paris dengan cekatan membantu gadis itu. Karena tidak tega jika harus Nina yang mendorong.

"Gue keluar dulu," pamitnya dan tanpa banyak bicara Paris kembali keluar dari ruangan Arsya.

Meninggalkan Nala dan Arsya yang saling tatap, dengan mata Nala berkaca-kaca. Sedang Arsya sudah menyinggungkan senyumnya dibalik alat bernafas itu.

"Hei," panggil Arsya dengan suara serak dan beratnya.

"Jangan nangis," pintanya kala melihat air mata gadisnya mengalir begitu saja.

"Kak," lirih Nala.

"Saya ... gapapa."

Nala menggeleng, "Kakak gak baik-baik aja," jawabnya.

Sambil tersenyum tangan Arsya bergerak untuk membuka alat bantu bernafasnya itu. Tidak enak jika berbicara masih menggunakan itu.

"Kak, jangan dilepas," tegur Nala.

"Gapapa, aneh ka--kalo pake ... itu," jawab Arsya putus-putusnya.

Tangannya bergerak mengusap pipi Nala yang sedikit tirus itu. Dengan senyum yang tak hilang dari wajahnya.

"Senyum," pintanya, membuat Nala menarik bibirnya dengan terpaksa.

"Se--senyum kamu, cantik," puji Arsya membuat air mata Nala kembali mengalir.

Tangannya bergerak menggenggam tangan Arsya yang ada di pipinya. Sesekali ia kecup lembut dengan air mata yang mengalir. Ia sungguh tidak tega melihat lelaki kuat seperti Arsya terbaring lemah, apalagi semua karena dirinya.

"Saya ... gapapa, Na--na."

Entah apa yang terjadi, Arsya seperti kesusahan bernafas membuat Nala semakin khawatir.

"Kak, pake lagi alatnya," suruh Nala panik.

Arsya menggeleng, "Saya, mau bi--cara sama ka--mu. Gak enak kalo ... pake itu," jawabnya.

"Kak," lirihnya.

Arsya menatap gadisnya itu dalam, menggerakan ibu jarinya untuk menghapus air mata yang membasahi pipi itu.

"Ja--jangan ... nangis."

"Nala ... Zanneta, ka--kamu tau saya sangat men--cintai kamu. Kamu ... gadis pertama yang mengacaukan hi--hidup saya. Membuat saya ta--tahu, bahwa cin--ta tak selamanya ... menyakitkan," ucap Arsya putus-putus.

"Kamu ... tau? Kamu itu sangat ber--harga un--untuk saya. Perasaan saya untuk kamu, ti--tidak main-main. Sebesar dan se--tulus itu, Nala. Saya ... tidak bisa hidup tan--pa kamu," lanjutnya dan Arsya menyinggungkan senyum kecil di wajah pucat itu.

Arsyanendra storyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang