Suara petikan gitar terdengar dari sebuah ruangan di lantai lima. Seorang pemuda bermain gitar dengan sesekali bersenandung, mengeluarkan suara merdunya di tengah kesunyian malam. Pencahayaan yang remang-remang seolah berusaha menutupi identitas laki-laki 17 tahun itu.
Rutinitas pemuda itu masih sama setiap harinya. Sekolah, pergi ke tempat bimbel, belajar sebentar sekadar mengulas beberapa soal, bermain gitar dan yang terakhir tidur. Sebuah rutinitas yang membosankan. Bermain? Hang out dengan teman? Menonton film di bioskop? Kegiatan macam apa itu? Hanya membuang waktu. Begitulah kira-kira pemikiran sosok pemuda bernama lengkap Dewananda Pradipta tersebut.
Selesai memainkan beberapa lagu, laki-laki beralis tebal itu meletakkan gitarnya di bawah jendela. Kemudian, ia melangkah menuju kasur empuk untuk mengistirahatkan tubuhnya. Merebahkan tubuh di atas kasur sambil melihat piala dan piagam penghargaan yang berjejer di dinding kamar. Sesekali Dewa menghela napas, memikirkan masa depannya.
“Gue harus bisa bertahan di sini sampe lulus SMA!” bisiknya, penuh keyakinan.
Dewa menarik selimut, menutupi hampir seluruh badannya. Berusaha memejamkan mata sekalipun belum mengantuk. Ada banyak hal yang mengganggu pikirannya. Terkadang, Dewa belajar sampai tengah malam karena tak bisa tidur. Belajar seolah dijadikan pelarian untuk melupakan fakta kehidupan yang dibencinya.
Beberapa saat memaksakan diri untuk tidur, pada akhirnya Dewa menyerah. Ia membuka selimut dan beranjak dari ranjang. Mata indahnya melirik nampan di atas meja yang berhiaskan beberapa piring kotor dan gelas. Dewa tak suka jika ada orang lain masuk kamarnya tanpa izin. Oleh karena itu, ia memindahkan nampan tadi ke depan pintu kamar, agar ART bisa mengambil benda tersebut tanpa harus masuk kamarnya. Setelah itu, Dewa kembali menutup dan mengunci pintu kamar.
Kehidupan Dewa begitu sepi dan sunyi. Menutup diri dari pergaulan dan bersikap bodoamat dengan keadaan sekitar. Bukan tanpa alasan Dewa menutup diri, bahkan tak berteman dengan siapapun. Ada banyak hal yang ia sembunyikan, sampai-sampai tempat tinggalnya saja, tak ada yang tahu.
Dewa melangkah menuju jendela. Ia membuka lebih lebar jendela kaca kamarnya untuk melihat langit malam yang berhiaskan rembulan dan para bintang. Dari sana, Dewa juga bisa melihat hamparan kota yang indah berhiaskan lampu warna-warni. Mata pemuda itu berkaca-kaca. Hatinya tertegun melihat kehidupan normal para remaja yang seumuran dengannya.
“Habis lulus SMA, gue pasti bisa hidup normal kayak mereka,” ucap Dewa, kembali berusaha meyakinkan diri.
Tak lama kemudian, terlihat kembang api meletup-letup. Keindahannya ikut andil menghiasi langit malam. Dewa tersenyum melihat keindahan kembang api tersebut. Sebuah senyuman yang jarang ia ukir pada bibir tipisnya.
***
Pagi yang indah memberi semangat tersendiri pada para murid yang hendak berangkat ke sekolah. Seperti biasa, hari Senin datang dengan cepat. Memaksa semua orang kembali beraktivitas seperti biasa. Para pekerja kembali bekerja dan para pelajar kembali belajar. Sungguh suasana yang amat normal.
SMA Pilar Nusantara ramai oleh hiruk-pikuk para murid memasuki kelas. Sembari menunggu jam pelajaran pertama dimulai, murid-murid melakukan berbagai aktivitas. Ada yang sibuk mengerjakan tugas, ada yang sibuk mengulas soal, ada yang sibuk membaca buku, ada yang mengobrol dengan teman sebangku, bahkan ada yang berdandan. Bermacam-macam murid berkumpul menjadi satu di berbagai kelas. Semua memiliki cara tersendiri untuk mengisi waktu luang.
Seorang gadis ber-tagname Clara Tarida Evelyn berlari memasuki kelas 11 IPS 1 dengan panik. Sebuah pemandangan biasa bagi para murid kelas IPS unggulan tersebut, melihat Clara wara-wiri keluar masuk kelas mereka sekalipun Clara bukan murid di kelas itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Rahasia Kita [END]
Teen FictionDewananda Pradipta, pemuda berusia 17 tahun yang sengaja menutup diri dari orang lain. Bukan tanpa alasan, Dewa menjadi sosok yang sangat tertutup. Ia memiliki banyak rahasia yang disembunyikan. Saking tertutupnya, Dewa nyaris tak pernah berbicara d...