Maudy menendang kerikil yang ada di tepi trotoar. Untuk yang ke sekian kali, perempuan itu melarikan diri dari tempat les piano. Sosok Maudy yang tampak penurut, sebenarnya memiliki sisi pembangkang yang kuat. Hanya saja, jiwa pembangkangnya menampakkan diri di saat-saat tertentu, contohnya seperti sekarang.
“Harus berapa kali gue bilang, kalo gue nggak pengen jadi pianis. Tangan gue ini diciptain buat megang bahan-bahan kue, bukan piano,” gerutu Maudy, membenarkan tindakannya.
Maudy melangkah sembari memikirkan apa yang hendak dilakukan hingga satu jam ke depan. Sialnya, saat ini ia tak membawa ponsel karena benda pipih itu tertinggal di mobil beberapa saat lalu. Jadi, Maudy tak bisa menghubungi Clara atau Rendra agar menemaninya.
Ketika melewati sebuah gang kecil, mata Maudy melihat segerombol kucing liar tengah makan. Didekatinya kucing-kucing itu sembari berjongkok. Lalu, tangan putih Maudy mengelus bulu kucing yang paling kecil. Gadis itu tersenyum, seolah dengan melihat kucing-kucing tadi sudah bisa membuatnya bahagia. Sesederhana itu memang kebahagiaan seorang Maudy Yunita Kristanti.
“Maudy!”
Suara seseorang yang memanggil secara tiba-tiba membuat Maudy menoleh. Tak jauh dari tempat Maudy berada, terlihat Rizal berdiri dengan beberapa bungkus makanan kucing di tangan.
“Jadi, yang ngasih makan kucing-kucing ini, elo?” tanya Maudy.
Rizal berjalan ke arah Maudy sambil mengangguk dan tersenyum. Matanya membentuk bulan sabit, membuat wajah pemuda itu terlihat imut.
“Lo ngapain di sini?” Rizal bertanya seraya membuka bungkus makanan kucing.
“Eum ... gue ... gue lagi jalan-jalan. Gabut banget jam segini nggak ada kegiatan. Trus liat ada banyak kucing liar. Jadinya berhenti, soalnya gemes liat kucing-kucing ini,” jelas Maudy.
Rizal menuangkan makanan kucing ke sebuah mangkuk plastik. Setelah terisi penuh, diberikannya mangkuk tersebut pada Maudy. “Kalo gitu, bantuin gue ngasih makan kucing yang di sana!” ucap Rizal dengan menunjuk beberapa kucing yang ada di dekat pagar sebuah gedung.
Maudy dengan semangat menerima mangkuk tadi. Kemudian, Maudy berjalan menuju tempat yang ditunjuk Rizal barusan. Sekarang, Maudy tak perlu merasa bingung memikirkan cara untuk mengisi waktu selama satu jam ke depan, karena ia sudah bertemu Rizal yang juga menyukai kucing sepertinya.
Rizal melihat punggung Maudy dengan tersenyum. Jujur saja, Rizal kini mulai tertarik pada sosok Maudy yang kalem dan manis. Sekalipun Maudy sangat buruk dalam pelajaran, akan tetapi Maudy cukup asik diajak mengobrol dan bekerjasama. Terbukti, drama panggung yang mereka perankan bersama mendapat respons baik dari penonton dan pihak sekolah, bahkan sampai mendapat penghargaan dari kepala sekolah sebagai penampilan terbaik dari semua kelas. Sejak penampilan mereka sebagai Ken Arok dan Ken Dedes, ada beberapa orang yang berpikir bahwa Maudy dan Rizal cocok jika berpacaran.
Selepas memberi makan kucing liar, Maudy kembali ke tempat Rizal. Ia mengambil satu bungkus makanan kucing yang tergeletak di samping Rizal.
“Mau lo bawa kemana?” tanya Rizal heran.
“Tadi gue liat ada kucing liar lain di sana,” jawab Maudy sambil menunjuk ke semak-semak.
“Kalo gitu, gue bantuin bawa.”
Rizal mengambil satu bungkus makanan kucing di tangan Maudy. Lalu, mengambil dua bungkus makanan kucing yang masih tersisa. Maudy dan Rizal berjalan bersama menuju semak-semak yang ditunjuk Maudy tadi. Keduanya tampak kompak dan akrab karena memiliki kesamaan. Selama ini, Maudy tak pernah punya teman yang bisa diajak memberi makan kucing liar. Clara maupun Rendra sama-sama kurang menyukai kucing karena Clara alergi pada bulu kucing, sedangkan Rendra memang malas melakukan kegiatan semacam itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Rahasia Kita [END]
Teen FictionDewananda Pradipta, pemuda berusia 17 tahun yang sengaja menutup diri dari orang lain. Bukan tanpa alasan, Dewa menjadi sosok yang sangat tertutup. Ia memiliki banyak rahasia yang disembunyikan. Saking tertutupnya, Dewa nyaris tak pernah berbicara d...