16. Rumah Bunga

98 5 21
                                    

Bel tanda istirahat berbunyi keras membelah gedung SMA Pilar Nusantara. Semua murid di kelas 11 IPS 5 sudah melarikan diri ke kafetaria, kecuali Clara dan Maudy. Sebenarnya Maudy sudah ingin ke kafetaria untuk mengisi perut. Tapi, Clara masih enggan beranjak dari zona nyamannya.

Clara kini kehabisan akal, karena waktu untuk membuat Dewa menjadi pacarnya tinggal tiga hari. Sementara Rendra terus meledeknya dengan mengirim beberapa gambar makanan mahal padanya setiap malam seolah mengingatkan, bahwa Clara harus membelikan semua makanan tersebut jika kalah.

“Ra, kita pikirin caranya setelah makan siang aja, gimana?” ujar Maudy.

“Kalo lo udah laper, lo ke kafetaria aja! Gue nggak nafsu makan,” balas Clara seraya menenggelamkan wajahnya ke atas meja.

“Mana enak makan sendirian, Ra?” Maudy ikut menenggelamkan wajah di atas meja.

“Apa gue harus tarik ulur kayak cewek-cewek di drama, ya? Jadi pick me girl, misalnya.” Clara mengungkap gagasan.

“Gue udah pernah bilang sama lo, 'kan, kalo Dewa itu nggak kayak cowok pada umumnya? Lagian, lo gabut banget bikin taruhan begini sama Rendra. Rendra udah tahu perangai Dewa yang nggak tertarik sama cewek. Mereka sekelas dari masih kelas 10. Makanya, Rendra iyain aja ajakan lo buat taruhan,” cerocos Maudy, terdengar seperti seorang ibu yang memarahi anaknya.

Beberapa saat kemudian, Rendra memasuki kelas 11 IPS 5. Ia menghampiri sahabatnya yang masih duduk santai di kursi masing-masing. Makan siang Rendra akan terasa hampa jika tanpa Clara dan Maudy. Ya, sekalipun saat mereka bersama, mereka akan ribut dengan berbagai ocehan unfaedah.

“Siang ini, gue traktir kalian makan!” kata Rendra.

Clara beranjak dari posisinya. Ia mendekat pada Rendra sembari menyipitkan mata. “Lo nggak lagi ngeledek gue, 'kan?”

Rendra tersenyum manis. Ia tahu, Clara sangat sensitif karena belum bisa menaklukkan Dewa ketika tenggat waktunya sudah mendekati hari terakhir. Rendra sangat paham bagaimana Clara. Kekalahan adalah hal yang sangat dibencinya. Apalagi dalam hal mendapatkan seseorang.

“Gimana kalo kita batalin taruhannya aja?” tawar Rendra, menggeser kursi kosong dekat Clara dan mendudukinya.

“Enggak! Kalo kita batalin taruhannya, perjuangan gue selama 27 hari bakal sia-sia. Dan segala kegilaan gue nggak ada gunanya,” tolak Clara.

“Terus, mau lo apa, Tuan Putri?” Rendra mengeratkan gigi-giginya.

“Gue pengen pertambahan waktu. Yah, ditambah tiga hari lagi juga nggak apa-apa,” beber Clara antusias.

“Nggak bisa!” balas Rendra seraya beranjak berdiri.

Ponsel Rendra mendadak berdering. Pemuda itu lekas melihat layar ponselnya yang menampakkan nama si penelepon. Lalu, ia menunjukkannya pada Clara. “Gara-gara lo, WA gue full chat sama panggilan tak terjawab dari Veronica.”

“Kalo lo ngerasa nggak nyaman, lo blokir aja!” saran Maudy tanpa ragu.

“Rencananya sih, gitu. Tapi, gue mikirin si kampret ini! Entar kalo Veronica ngamuk sama dia, gimana?” Rendra menuturkan alasannya tak bisa memblokir kontak Veronica sambil melirik Clara.

“Pokoknya, waktu lo tinggal tiga hari lagi!” ucap Rendra dengan tersenyum miring. Kemudian, melangkah keluar kelas 11 IPS 5 sambil melambaikan tangan.

Clara menendang kursi di dekat kakinya, meluapkan rasa kesal yang melanda. Rendra semakin membuatnya kesal, karena tak mau memberikan perpanjangan waktu. Jika saja Rendra bukan sahabatnya, mungkin Clara sudah menjambak rambutnya sampai botak.

Rahasia Kita [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang