Mini market sekolah merupakan tempat kedua yang menjadi favorit para murid menghabiskan waktu di jam istirahat. Beberapa murid terlihat lalu-lalang di tempat yang menjual berbagai camilan, mi instan, dan minuman tersebut. Jam istirahat kedua memang tak melulu pergi ke kafetaria untuk mengisi perut.
Dewa mengisi keranjangnya dengan berbagai camilan dan minuman. Bibir pemuda itu terlihat diam, tapi hatinya menggerutu dan mengumpat sedari tadi. Rasa kesalnya seperti tak bisa diungkapkan dengan kata-kata.
"Woah, banyak banget camilan yang lo beli," kata seorang murid perempuan ber-tagname Febiola Novita.
"Iya," balas Dewa singkat tanpa melihat sang lawan bicara.
Setelah mendapatkan semua camilan dan minuman yang ada di daftar, Dewa berjalan menuju kasir. Antrean di depan meja kasir cukup membuat Dewa menghela napas. Ah, rasanya Dewa ingin menyerobot antrean itu agar waktunya tak terbuang sia-sia.
"Wa, tadi Pak Frans nyariin lo di kelas. Katanya ada sesuatu yang pengen diomongin sama lo." Olla mengikuti Dewa dengan dua bungkus camilan di tangan.
Dewa tak memberikan respons yang berarti. Ia seperti sudah tahu apa yang hendak dibicarakan sang wali kelas. Pemuda itu sudah muak membahas tentang kegiatan belajar kelompok khusus untuk anak-anak dari kelas unggulan. Terlebih, ide tersebut berasal dari beberapa wali murid yang hingga kini masih penasaran dengan orang tua Dewa karena selama ini tak pernah menghadiri pertemuan antar wali murid.
"Kalo lo ngerasa keberatan sama ide belajar kelompok itu, lo ngomong baik-baik aja sama Pak Frans! Sebenernya gue juga kurang setuju, soalnya waktu yang dipilih pas hari libur. Hari Senin sampe Jum'at udah bimbel, masa akhir pekannya masih harus belajar kelompok? 'Kan otak kita juga butuh istirahat," oceh Olla.
"Bukannya yang paling ngotot soal itu justru nyokap lo?" Kini Dewa angkat bicara dan menatap Olla.
Olla terdiam. Niatnya ingin membuat Dewa menganggapnya berbeda dari murid lain di kelas. Namun siapa sangka, Dewa mengetahui fakta yang mampu membuatnya tak bisa berkata-kata. Dewa diam bukan berarti tidak tahu apa-apa.
"Mereka penasaran sama cara orang tua lo ngasih bimbingan dan motivasi belajar ke elo. Makanya itu, sebagian wali murid berharap bisa diskusi sama orang tua lo lewat program kelompok belajar ini." Olla berusaha membuat pembelaan.
Masih seperti sebelumnya, Dewa tak memberikan reaksi yang berarti. Bibir tipisnya tak bergerak untuk sekadar membalas perkataan sang ketua kelas. Pemuda itu maju satu langkah, pertanda antrean mulai berkurang.
"Wa, lo dengerin gue, 'kan?" tanya Olla sambil meraih lengan Dewa.
Dewa menatap tajam tangan Olla yang dengan berani memegang lengan mulusnya tanpa izin. Selama ini, ia cukup tahu, bahwa Olla memiliki ambisi untuk masuk jajaran murid terbaik di sekolah. Namun, kemampuan yang dimiliki belum mampu menggeser posisi Dewa dan Rendra. Posisi teratas pertama selalu dimiliki Dewa, begitu pula dengan posisi kedua, selalu ditempati oleh Rendra.
"Lepasin!" perintah Dewa ketus.
Perlahan, Olla melepaskan tangannya dari lengan Dewa. Dengan cara apapun, sosok Dewa memang sulit didekati. Cara halus atau cara licik, semua berakhir sama. Sesulit itu memang, menaklukan hati seorang Dewananda Pradipta. Sepertinya, Olla harus belajar dari Clara agar bisa membuat Dewa menurut layaknya budak.
Kini, giliran barang belanjaan Dewa yang dihitung oleh kasir. Setelahnya, Dewa memberikan beberapa lembar uang pada kasir seraya menerima satu kantong plastik berisi camilan dan minumannya tadi. Laki-laki itu berjalan keluar mini market tanpa mengatakan sesuatu pada Olla.
"Lo liat aja, Wa! Gue pasti bakal bikin lo nyesel karena udah bersikap dingin sama gue," bisik Olla seraya memandang punggung Dewa.
Dewa berjalan menuju lantai dua, tepatnya ke kelas 11 IPS 5. Beberapa murid melihatnya dengan berbisik pada orang yang ada di samping mereka. Para murid yang melihat Dewa selalu tak bisa menahan diri untuk membicarakan laki-laki itu. Masih jadi misteri, bagaimana cara Dewa bisa mendapatkan nilai akademis tertinggi. Bahkan jika dihitung jumlah keseluruhan nilainya, Dewa berada di puncak melebihi murid terbaik dari kelas IPA. Para guru dari kelas IPA sampai heran, karena nilai anak didiknya kalah telak dari Dewa, yang mana semua mata pelajarannya mendapat nilai nyaris sempurna.
KAMU SEDANG MEMBACA
Rahasia Kita [END]
Teen FictionDewananda Pradipta, pemuda berusia 17 tahun yang sengaja menutup diri dari orang lain. Bukan tanpa alasan, Dewa menjadi sosok yang sangat tertutup. Ia memiliki banyak rahasia yang disembunyikan. Saking tertutupnya, Dewa nyaris tak pernah berbicara d...