Pagi-pagi sekali, Rendra pergi ke lapangan basket dekat area perumahan tempat tinggalnya. Angin pagi bertiup cukup kencang, memberikan hawa dingin yang menusuk kulit. Hoodie berwarna biru muda menutupi sebagian tubuh Rendra untuk melindunginya dari hawa dingin angin pagi.
Sesampainya di lapangan basket, netra Rendra melihat seorang pemuda tinggi bermain basket sendirian. Melihat kedatangan Rendra, pemuda tersebut melempar bola basket di tangannya pada Rendra. Dengan sigap, Rendra menangkap bola tersebut. Kemudian, ia berlari memasuki lapangan untuk menghampiri sosok yang pernah menjadi sahabat dekatnya itu.
“Ada apa nyuruh gue ke sini pagi-pagi?” tanya Rendra tanpa basa-basi. Lalu, dilemparnya bola basket pada laki-laki di hadapannya.
“Gue pengen ngobrol sambil main basket sama lo. Udah lama kita nggak main basket bareng,” jawab sang lawan bicara sambil men-drible bola.
Rendra tersenyum miring. Dahulu, hubungan mereka memang sangat dekat. Bahkan sudah seperti saudara. Tapi, itu hanya sekilas masa lalu yang mulai ingin Rendra lupakan.
“Lo nggak pernah berubah, Vin. Tetep ngebosenin dan banyak basa-basi,” komentar Rendra dengan merebut bola di tangan Gavin. Ia berlari menuju ring dan melompat memasukkan bola ke dalam ring.
Rendra membalikkan tubuh, memandang Gavin dengan melipat tangan di dada. “Kalo lo masih mau basa-basi, mending gue pulang.”
Rendra berjalan keluar lapangan. Sejak awal, Rendra sudah menduga akan seperti ini. Bodohnya, ia tetap mau bertemu Gavin. Ya, sebenci apapun Rendra pada Gavin, tetap saja Gavin pernah menjadi bagian dari cerita hidupnya.
“Ini soal Clara!” teriak Gavin yang seketika langsung membuat Rendra menghentikan langkah.
Rendra menoleh ke arah Gavin. Matanya menatap tajam Gavin. Sementara Gavin berjalan santai ke arah Rendra. Setelah hubungannya dengan Clara berakhir, persahabatannya dengan Rendra juga ikut berakhir. Ya, Clara dan Rendra memang sedekat itu. Rendra akan membenci siapapun yang dibenci Clara. Meskipun orang itu adalah sahabatnya sendiri.
“Lo yang paling deket sama Clara. Gue harap, lo jaga dia sampai akhir!” kata Gavin.
“Tanpa lo suruh pun, gue juga bakal jaga Clara. Gue nggak kayak lo yang egois dan tahunya cuma nusuk Clara dari belakang!” balas Rendra.
“Iya. Gue tahu, gue yang ngehancurin semuanya. Gue ngehancurin perasaan Clara dalam waktu singkat. Juga, persahabatan kita. Gue yang paling bersalah! Gue yang paling berdosa!” Gavin meninggikan suara.
Rendra menghela napas. Ia benci berada di antara Clara dan Gavin. Sejujurnya, Rendra juga tak tega melihat Gavin sekarang. Hidup di tengah keluarga baru yang tak ada kedamaian dan melepas status orang yang dicintai menjadi adik. Rendra juga tahu, tak hanya Clara yang menderita atas apa yang telah terjadi. Tapi juga Gavin.
“Sorry! Gue kebawa suasana,” sesal Gavin, mencoba menahan diri.
Rendra melihat tas dan jaket yang tergeletak di tepi lapangan. Selain benda yang disebutkan, ada dua benda lain yang menyita perhatian Rendra. Tampak sebungkus rokok dan sebuah pemantik bertengger di samping tas yang diyakini milik Gavin tersebut.
“Lo sekarang ngerokok?” Rendra menyipitkan mata.
“Bukan urusan lo!”
Gavin berlari untuk membereskan barang-barangnya. Rendra mengikuti dengan rasa khawatir yang mengintip. Mengenal Gavin sejak SMP, Rendra tahu benar seperti apa perangai Gavin. Rasanya, cukup aneh melihat Gavin menyimpan rokok dan pemantik jika memang ia tak merokok.
“Lo beneran ngerokok?” ulang Rendra.
Gavin menyandang tas dan jaket setelah memasukkan rokok dan pemantik ke dalam tas. Ia enggan menjawab pertanyaan dari Rendra. Pemuda berhidung mancung itu berjalan meninggalkan lapangan, seolah sengaja menuli.
KAMU SEDANG MEMBACA
Rahasia Kita [END]
Teen FictionDewananda Pradipta, pemuda berusia 17 tahun yang sengaja menutup diri dari orang lain. Bukan tanpa alasan, Dewa menjadi sosok yang sangat tertutup. Ia memiliki banyak rahasia yang disembunyikan. Saking tertutupnya, Dewa nyaris tak pernah berbicara d...