20. Semangat untuk Rizal

99 4 4
                                    

Dewa sibuk membaca buku tanpa mengindahkan Clara yang sibuk makan di sampingnya. Tak peduli jika Clara berusaha menggangunya dengan melempar beberapa butir nasi uduk. Kadang, gadis itu juga menyenggol pundak Dewa dan bernyanyi tak jelas di dekat telinga pemuda tersebut.

“Ah, kenyang!” celetuk Clara setelah menyelesaikan acara makannya.

Dewa langsung berdiri, karena merasa tugasnya sudah selesai. Namun, Clara tak akan semudah itu membiarkannya pergi. Clara seperti tak kehabisan akal untuk membuat Dewa kesal.

“Eh, mau kemana?” tanya Clara dengan berdiri di depan Dewa, berusaha menghalangi jalan.

“Kelas,” jawab Dewa sembari menyingkirkan tubuh Clara.

“Siapa bilang lo boleh ke kelas sekarang?” Clara tersenyum miring.

Dewa menghela napas. Entah rencana apalagi yang disiapkan oleh Clara untuk mengerjainya. Yang pasti, semua waktunya terbuang sia-sia demi meladeni gadis berwajah cantik itu.

“Trus, gue harus apa?” Dewa menatap Clara tajam.

“Beresin!” Clara menunjuk bekas sarapannya yang berceceran di atas meja.

Dewa meraih lengan mulus Clara dan memegangnya agak kasar. “Punya tangan sendiri lo pake buat apa?”

Clara seolah tak takut dengan tatapan mata Dewa yang bak laser. Ia malah mendekat pada Dewa dengan ekspresi menantang. Wajahnya bergerak semakin dekat hingga hidung mancung keduanya nyaris bersentuhan.

“Lo itu sekarang budak gue! Jadi, lo harus ngelakuin semua perintah gue! Atau ... lo pengen semua orang tahu siapa lo sebenernya?” bisik Clara yang terdengar halus tapi penuh ancaman.

Di saat bersamaan, seseorang mendadak memasuki ruang seni. Sosok yang tak lain adalah Gavin, tampak kaget melihat penampakan Clara dan Dewa yang saling menatap dengan jarak sangat dekat. Kedatangan Gavin seolah tak diindahkan oleh keduanya karena sibuk bersitegang.

“Kalo mau pacaran, cari tempat lain!” ucap Gavin, membelah kesunyian di ruang seni.

Suara Gavin membuat Dewa langsung mundur beberapa langkah dan melepaskan lengan Clara. Kedatangan sang Ketua OSIS membuatnya harus menjaga imej sebagai murid teladan. Setidaknya, ia tak boleh mengotori nama baiknya hanya demi meladeni gadis gila seperti Clara. Dewa mulai membereskan bekas sarapan Clara agar bisa cepat keluar dari ruangan tersebut. Dewa pikir, ini bisa jadi kesempatannya untuk kembali ke kelas.

Setelah menyelesaikan pekerjaannya, Dewa berjalan keluar. Ia meninggalkan Clara dan Gavin di sana, seolah tak mau tahu apa yang hendak dilakukan keduanya. Gavin masih berdiri di tempatnya. Sementara Clara juga tak merubah posisi. Dua pasang mata anak manusia itu saling menatap satu sama lain. Mereka seolah berbicara lewat tatapan matanya.

Beberapa detik saling menatap, pada akhirnya Gavin menyerah lebih dulu. Ia mengalihkan pandangan ke arah lain untuk menutupi perasaannya yang masih porak-poranda atas segala yang telah terjadi. Pemuda tinggi itu bergerak untuk mengambil beberapa pisau pahat. Kemudian, melangkah keluar ruangan. Kini, Clara hanya bisa memandang punggung Gavin yang perlahan menjauh.

***

Toilet merupakan tempat untuk membuang kotoran dan membersihkan diri. Namun, seiring berjalannya waktu, toilet memiliki lebih banyak fungsi. Di antaranya menjadi tempat untuk menghindar dari pelajaran yang tak disukai, menjadi tempat menyembunyikan barang-barang yang dilarang dibawa ke sekolah seperti rokok dan pemantik, juga menjadi tempat bersembunyi yang tepat jika ingin menghindar dari seseorang.

Sejak bel tanda istirahat berbunyi, Dewa melarikan diri ke toilet. Ya, satu-satunya tempat yang tak mungkin Clara masuki memang hanya toilet laki-laki. Baru beberapa hari berperan sebagai pacar gadungan Clara, Dewa sudah merasa sangat lelah. Banyak waktunya terbuang sia-sia demi mengikuti perintah Clara. Sepanjang hidup, Dewa tak pernah membayangkan akan menjadi bahan buruan gadis dari kelas 11 IPS 5 itu.

Rahasia Kita [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang