Maudy merebahkan kepala ke atas meja. Sebagian rambut hitam lurusnya menutupi wajah cantiknya. Ia menyesal, karena telah menyetujui kesepakatan dengan ayahnya. Sudah tahu akan sulit, tapi Maudy iya-iya saja, seolah sanggup. Masuk 50 besar peringkat paralel untuk ujian semester genap? Bisa tidak masuk peringkat terendah saja rasanya sudah syukur.
Clara yang baru datang duduk di samping Maudy dan menatap sang sahabat intens. Setelah bertemu dan membuat perjanjian dengan sang ayah, Maudy sudah tidak menginap lagi di rumah Clara. Oleh karena itu, Clara cukup penasaran dengan hasil pertemuan Maudy dan sang ayah. Akan tetapi, setelah melihat ekspresi wajah Maudy, Clara jadi tidak bisa ber-positive thinking.
“Dy, gimana?” tanya Clara, yang mungkin bagi orang lain terdengar ambigu.
“Gue bikin kesepakatan sama bokap gue,” jawab Maudy seraya mengangkat kepala dan memandang Clara.
Clara mendekat pada Maudy dengan rasa penasaran tinggi. “Kesepakatan?” Clara mengangkat sebelah alisnya.
“Bokap gue nyuruh gue buat masuk peringkat 50 besar di ujian semester genap nanti. Baru deh, dia bakalan biarin gue nekunin hobi masak gue dan nggak akan nyuruh gue les piano lagi. Juga, bokap gue bakal bawa nyokap gue berobat.” Maudy menjelaskan dengan wajah putus asa.
“Hah? 50 besar?” Mata Clara membulat.
Maudy memeluk Clara dengan kepala pusing. “Sekarang gue harus gimana, Ra? Setelah gue pikir lagi, gue kayaknya nggak sanggup.”
“Eh, gimana kalo lo ikut bimbel?” usul Clara.
Maudy melepaskan pelukannya dari Clara. Ia dibuat semakin galau dengan ide yang diberikan sang sahabat.
“Gue udah berusaha ngehubungin beberapa tempat bimbel tadi malem, termasuk tempat bimbelnya Rendra sama Kak Gavin. Tapi mereka bilang, mereka nggak bisa nerima orang baru di tengah semester genap. Apalagi gue nggak pernah ikut bimbel sebelumnya. Mereka makin ogah nerima gue, karena katanya, gue harus ngejar banyak materi yang udah lewat,” ungkap Maudy.
Clara mengangguk mengerti. Pada akhirnya, ia tetap tak bisa membantu sang sahabat menyelesaikan masalah. Ah, bahkan otak Clara sendiri tak bisa berpikir lagi, sebab ia sendiri sangat buruk dalam belajar. Seandainya ia lebih pintar sedikit, mungkin ia bisa membantu Maudy.
“Kalo gitu, lo minta bantuan Rendra aja! Misalnya, tiap hari sepulang sekolah belajar bareng, gitu?” Clara kembali memberi ide.
“Kayaknya bakal susah, soalnya sekarang 'kan nyokapnya jemput dia terus. Repot banget kalo musti berurusan sama nyokapnya Rendra,” papar Maudy yang kini kembali merebahkan kepalanya ke atas meja. Sungguh ia sangat menyesal dan kesal pada dirinya.
Clara ikut merebahkan kepala ke tas meja. Ia memandang Maudy sambil menggenggam tangan mulus gadis itu. “Seandainya Kak Gavin ngambil jurusan IPS juga, pasti lo bisa minta bantuan dia dengan gampang.”
“Iya. Dibanding Rendra, minta bantuan Kak Gavin jauh lebih gampang.” Maudy menimpali.
Tak lama kemudian, tampak Rizal dan Bima memasuki kelas. Mereka terlihat mengobrol sambil berjalan menuju tempat duduk. Melihat kedatangan Rizal, Clara langsung mendapat ide.
“Eh Dy, gimana kalo lo minta bantuan sama Rizal aja? Di ujian semester kemarin, Rizal 'kan masuk peringkat sepuluh besar paralel. Padahal, dia ngerjain soal-soal ujian di rumah sakit dan dijaga ketat sama Pak Wawan dan kepsek,” lontar Clara yang kini mengangkat kepala, seolah memiliki secercah harapan.
Maudy berpikir sejenak. Apa yang Clara katakan terdengar masuk akal. Faktanya, ia dan Rizal selama ini cukup dekat. Selain itu, Rizal juga pintar, sekalipun kerap absen karena sakit.
KAMU SEDANG MEMBACA
Rahasia Kita [END]
Teen FictionDewananda Pradipta, pemuda berusia 17 tahun yang sengaja menutup diri dari orang lain. Bukan tanpa alasan, Dewa menjadi sosok yang sangat tertutup. Ia memiliki banyak rahasia yang disembunyikan. Saking tertutupnya, Dewa nyaris tak pernah berbicara d...