38. Mimpi yang Telah Dikabulkan

63 5 31
                                    

Gavin membuka mata pelan-pelan. Sayup-sayup, ia melihat sosok yang dikenal menyambutnya dengan cemas dan khawatir. Walau masih samar-samar, tapi Gavin tahu, bahwa orang itu adalah Clara. Melihat ekspresi wajah Clara membuat Gavin merasa bersalah. Tak hanya merasa bersalah pada Clara, tapi juga pada ibunya dan ayah tirinya.

“Lo jangan pasang muka kayak gitu! Muka lo kayak orang lagi dateng ke acara pemakaman,” ucap Gavin.

Clara langsung menjitak kening Gavin. Di saat seperti ini, bisa-bisanya pemuda itu mengucapkan kata-kata yang menakutkan. Padahal, tiga hari ini Clara sudah dibuat cemas dan khawatir oleh Gavin. Sampai-sampai ia tak masuk sekolah satu hari.

“Sakit, Ra! Status gue masih pasien, tahu,” keluh Gavin seraya memegang kening.

“Lo ngomong yang enggak-enggak sekali lagi, gue bakal nyeret lo keluar.” Clara mengancam dengan mata berkaca-kaca. Dibandingkan mengancam, perkataan Clara lebih seperti rasa khawatir.

Gavin tersenyum menanggapi perkataan Clara barusan. Memang hanya kata-kata menyebalkan yang keluar dari mulut gadis 17 tahun itu. Akan tetapi, Gavin menyukainya. Sebab, dibalik kata-kata kasar yang Clara lontarkan, tersirat rasa cinta yang berusaha disembunyikan.

Gavin meraih tangan Clara dan menggenggamnya. Matanya menatap sang mantan intens, seolah berusaha menahan sesuatu. Dari luar, Gavin seperti rela-rela saja hubungannya dengan Clara kandas. Namun, sebenarnya ia juga ingin egois.

“Kita pernah punya mimpi, di masa depan, kita bakal jadi keluarga. Dan emang iya, kita jadi keluarga sekarang. Tuhan ngabulin mimpi kita, bahkan sebelum kita ada di masa depan. Bukan sebagai pasangan, tapi saudara,” kata Gavin, memulai pembicaraan dengan bibir gemetar.

Clara melepaskan genggaman tangan Gavin. Ia mengalihkan pandangan, menghindar dari tatapan mata Gavin. Pada akhirnya, Clara harus tetap melepaskan cinta pertamanya. Memang benar kata orang, bahwa cinta pertama biasanya menyisakan luka.

“Ra!” bisik Gavin lirih.

“Saudara, ya? Kedengarannya maksa banget,” balas Clara.

Clara bangkit seraya mengusap matanya yang berair. Kakinya melangkah keluar dari ruang rawat Gavin. Kemudian, ia menutup pintu dan duduk di lantai samping pintu. Kakinya ditekuk, dijadikan tempat mendaratkan wajah. Dengan suara pelan, Clara terisak.

Rendra yang baru datang lekas menghampiri Clara. Ia berjongkok, menyamakan posisi dengan Clara. Tangannya meraih pundak Clara. Entah harus sampai kapan, Rendra memerankan second lead. Jujur saja, Rendra sudah muak.

“Ra, pergi ke arkade, yuk!” ajak Rendra.

Perlahan, Clara mengangkat wajah. Gadis itu tahu, bahwa saat ini Rendra sedang berusaha menghiburnya. Akan tetapi, yang Clara butuhkan bukan hiburan, melainkan ketenangan.

“Gue mau pulang aja, Ren,” pungkas Clara.

Rendra mengangguk paham. Diraihnya kedua tangan Clara untuk membantu sang sahabat berdiri. Setelah berdiri, Clara berjalan terlebih dahulu meninggalkan Rendra. Jika sudah seperti ini, tak ada yang bisa Rendra lakukan, selain memberi waktu pada Clara untuk menenangkan diri.

Kini, Rendra menoleh ke ruang rawat Gavin. Ia ingin mengatakan beberapa kata menyakitkan pada Gavin. Namun, saat membuka pintu ruangan, Rendra mendapati Gavin mengusap kasar air matanya. Rendra akan jadi orang jahat jika membuat perhitungan pada Gavin di saat seperti ini. Apalagi keadaan Gavin masih belum pulih.

“Sialan! Kenapa gue harus ada di tengah-tengah hubungan mereka?” bisik Rendra.

Rendra memutuskan untuk mengejar Clara. Lebih baik ia mengantar Clara pulang daripada melabrak Gavin. Lelaki berbibir mungil itu berlari menyusuri koridor rumah sakit. Ketika sampai di bagian depan rumah sakit, Rendra bertemu dengan ibunya, Shinta Deswita. Tentu saja hal itu membuat Rendra harus berhenti.

Rahasia Kita [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang