10. Penyesalan Gavin

119 3 35
                                    

Senja menyapa diiringi langit berwarna jingga. Semilir angin sejuk menemani Clara dengan satu kotak kue ulang tahun di tangan. Hari ini adalah hari ulang tahun kekasih Clara. Gadis itu berniat memberi kejutan pada pemuda yang dicintai. Sebenarnya, Clara masih berduka atas kematian sang ibu beberapa bulan lalu. Akan tetapi, Clara tak ingin egois. Walau bagaimanapun, hari ini adalah hari lahir sang pacar. Jadi, ia harus merayakannya.

Clara turun dari taksi. Kakinya melangkah memasuki pagar rumah sederhana. Di halaman rumah tersebut, ada sebuah motor baru yang diparkir. Selain motor, ada juga mobil dengan plat yang tak asing terparkir di sana. Clara mengernyitkan dahi setelah melihat plat mobil berwarna putih itu.

“Kenapa mobil Papa bisa ada di sini?” bisik Clara heran.

Di saat Clara hendak kembali melangkah, seseorang membuka pintu rumah. Clara langsung menoleh, memandang tiga orang yang hendak keluar dari rumah tersebut. Mata Clara seketika membulat, melihat sang ayah berdiri di antara kekasih dan ibu kekasihnya.

“Papa?” kaget Clara.

“Clara?” ucap ayah dan pacar Clara bersamaan, dengan ekspresi tak kalah terkejut.

Tangan Clara gemetaran dengan pikiran tak karuan. Ia berharap, apa yang ada di benaknya bukanlah yang sebenarnya.

“Clara, kamu ngapain di sini?” tanya Tuan Juan, mendekati sang putri.

“Papa sendiri ngapain di sini?” balas Clara, malah balik bertanya.

Tuan Juan melirik wanita berusia awal empat puluhan yang berdiri di depan pintu. Lalu, tangannya menggenggam erat tangan Clara. “Papa di sini mau ngerayain ulang tahunnya Gavin.”

Tubuh Clara melemah dalam hitungan detik. Tanpa sadar, ia menjatuhkan kotak di tangannya. Kemudian, dilepaskannya genggaman tangan Tuan Juan dengan kasar. Kini, Clara menatap tajam Gavin, sang pacar, yang membeku di tempat.

“Kak Gavin, tolong jelasin semua ini!” teriak Clara sembari menghampiri Gavin.

Gavin menunduk dengan perasaan bersalah yang menyelimuti. Bibirnya seperti kaku secara mendadak. Ia bingung, bagaimana akan menjelaskan yang sebenarnya pada Clara. Kini, apa yang ia takutkan benar-benar terjadi. Clara mengetahui semuanya bukan darinya.

“Cepet jelasin!” bentak Clara tak sabar.

“Nyokap gue sama bokap lo ... mereka ... mereka mau nikah. Kita ... kita bakal jadi saudara,” jawab Gavin dengan perasaan yang tak bisa digambarkan.

Jawaban Gavin layaknya petir di siang bolong yang menyambar hati Clara. Hal sebesar ini, Gavin merahasiakan darinya. Itu berarti, selama ini Gavin tahu semuanya, tapi tetap diam.

“Sejak kapan? Sejak kapan Kak Gavin tahu ini?” Clara meraih kerah kaos Gavin dan menariknya kuat.

“Sekitar ... enam bulanan,” ungkap Gavin.

Perlahan, bulir-bulir bening mengalir dari mata indah Clara. Pipinya seketika bak anak sungai yang mengalirkan air dengan deras. Clara sangat marah dan kecewa, hingga tak bisa berkata apa-apa. Rasanya, tak ada yang bisa mewakili rasa sakit yang Clara rasakan saat ini.

“Clara, Papa bakal jelasin semuanya di rumah. Jadi, sekarang mendingan kita pulang!” ucap Tuan Juan, mencoba menenangkan Clara. Ia berusaha untuk melepaskan tautan tangan Clara dari kerah kaos Gavin.

“Apalagi yang mau Papa jelasin? Papa udah ngekhianatin Mama. Bahkan saat Mama masih hidup dan sakit parah. Mama baru meninggal tiga bulan lalu. Tapi, Papa udah ... udah ....” Clara terisak, tak bisa melanjutkan perkataannya. Tubuhnya merosot di lantai dengan memeluk lutut.

Melihat Clara begitu terpukul, Gavin merasa sangat bersalah. Seharusnya, ia jujur sejak awal, agar rasa kecewa dan sakit Clara bisa sedikit dikurangi. Tapi, semua sudah terlambat. Yang tertinggal hanya sebuah penyesalan yang akan menghantui hidup Gavin.

Rahasia Kita [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang