Maudy keluar dari toserba dengan membawa dua minuman dingin dan satu kantong plastik makanan kecil. Di depan toserba sudah ada Rizal yang duduk menunggunya sambil mengelus anak kucing yang ditolong beberapa saat lalu. Melihat Maudy berjalan ke arahnya, pemuda itu tersenyum. Kemudian, menata kursi yang bertengger di samping.
“Nih, minum dulu!” ucap Maudy sembari meletakkan minuman dan kantong plastik ke atas meja.
“Thanks, Dy!” balas Rizal.
Rizal mengambil satu minuman dingin dan membukanya. Lalu, menenggaknya hingga menyisakan setengah botol. Setelahnya, pemuda berkulit putih itu kembali bermain dengan anak kucing yang ada di pangkuannya.
“Lo suka kucing, ya?” tanya Maudy.
“Iya. Suka banget. Dulu pas masih kecil, gue punya banyak kucing di rumah. Tapi, sejak gue sakit-sakitan dan nggak bisa ngerawat, kucing-kucingnya dikirim ke tempat penampungan hewan sama nyokap gue,” beber Rizal.
Maudy mengangguk. Ia dan Rizal memang belum begitu akrab. Jadi, ada banyak hal yang belum diketahuinya tentang Rizal. Begitu pula sebaliknya. Namun, melihat aksi nekad Rizal menolong anak kucing itu, Maudy jadi yakin bahwa Rizal adalah orang baik.
“Kalo lo, suka juga nggak, sama kucing?” Rizal balik bertanya agar percakapan mereka tak berhenti tiba-tiba.
“Gue suka, sih. Tapi, gue orangnya nggak telaten melihara hewan. Cuma, kadang-kadang kalo gabut, gue suka ngasih makan kucing liar deket komplek perumahan tempat tinggal gue,” jawab Maudy.
“Woah, sekali-kali gue ikut ngasih makan kucing liar, dong!” Rizal tampak antusias.
“Boleh. Kapan-kapan gue kasih tahu kalo mau ngasih makan kucing liar,” tutur Maudy.
Rizal terlihat senang dengan penuturan Maudy. Sedikit demi sedikit, pemuda itu mulai bisa berbaur dengan orang lain. Memiliki teman sekolah layaknya remaja pada umumnya. Sebenarnya, Rizal bukan tipikal orang yang tertutup. Hanya saja, ia agak kaku memulai pembicaraan dengan orang lain, karena lama tak berbaur dengan orang-orang sekitar.
“Kalo lo suka, kenapa nggak lo pelihara aja kucing ini?” tawar Maudy.
“Rencananya emang mau gue bawa pulang buat gue pelihara.”
Beberapa saat kemudian, sebuah mobil berhenti di dekat toserba. Rizal dan Maudy menoleh, melihat sosok pria yang baru keluar dari mobil tersebut.
“Papa!” teriak Rizal seraya melambaikan tangan.
“Kalo gitu, gue duluan, ya!” pamit Rizal dengan berlari meninggalkan Maudy.
Maudy mengangguk, memberi jawaban. Ia melihat Rizal hingga memasuki mobil. Sebelum masuk mobil, ayah Rizal tersenyum pada Maudy, seolah berterima kasih karena sudah menemani putranya. Lalu, Maudy membalasnya dengan ikut tersenyum.
***
Malam yang sudah cukup larut menjadi saat yang tepat bagi Clara untuk mengisi perut. Sepulang sekolah, ia hanya mengurung diri di kamar. Tak peduli dengan apa yang terjadi di luar kamar. Dunia Clara sepulang sekolah hari ini seolah hanya berputar-putar di dalam kamarnya saja.
Clara beranjak dari ranjang empuknya dan melangkah keluar kamar. Dengan rambut yang dikuncir sedikit berantakan, gadis itu menuruni tangga menuju dapur. Ketika melewati ruang tengah, netranya melihat bayangan seseorang. Clara berhenti untuk memastikan bayangan tersebut. Dinyalakan lampu ruang tengah. Tampak Gavin duduk di lantai depan tv seorang diri dengan keringat yang mengucur.
“Lo ngapain di sini?” tanya Clara ketus.
Suara Clara seolah menyadarkan Gavin. Pemuda itu mendongakkan kepala, memandang Clara. Gavin lekas berdiri, sekalipun tubuhnya masih gemetaran. Kemudian, berjalan melewati Clara. Deru napas Gavin yang tak teratur saat lewat bisa Clara dengar, seolah pemuda itu baru saja mengikuti lomba lari estafet.
KAMU SEDANG MEMBACA
Rahasia Kita [END]
Teen FictionDewananda Pradipta, pemuda berusia 17 tahun yang sengaja menutup diri dari orang lain. Bukan tanpa alasan, Dewa menjadi sosok yang sangat tertutup. Ia memiliki banyak rahasia yang disembunyikan. Saking tertutupnya, Dewa nyaris tak pernah berbicara d...