63. Kekecewaan Rizal

60 4 29
                                    

Langit mulai berwarna keorenan dengan biasan sinar matahari yang hendak terbenam. Semilir angin sejuk membelai rambut hitam seorang pemuda yang sedang memberi makan kucing liar di dekat semak-semak. Tangan putihnya membelai seekor anak kucing yang sedang makan dengan lahap.

“Kalian harus makan banyak buat ngadepin kehidupan yang nggak gampang,” ucap pemuda yang biasa dipanggil Rizal itu.

Bibir yang biasanya selalu menampilkan senyuman, kini terlihat sebaliknya. Tampak jelas, bahwa Rizal sedang tidak dalam suasana hati yang baik. Di saat seperti ini, sebenarnya ia butuh seseorang yang bisa menjadi tempatnya bersandar dan menunjukkan sisi rapuhnya. Sayang sekali, di sana hanya ada beberapa kucing liar yang menemani. Hanya Rizal seorang yang manusia.

“Jadi, sebenernya gue harus nyalahin siapa? Gue harus benci sama siapa?” bisiknya dengan mata berkaca-kaca.

Walau beberapa saat lalu Rizal sempat marah dan kesal pada Dewa, tetapi kini ia merasa bersalah. Membenci Dewa juga bukan solusi, sebab Dewa sendiri tak bisa memilih harus lahir dari ibu dan ayah macam apa. Berapa kali pun Rizal pikirkan, ia tetap sulit menerima kenyataan ini.

“Rizal!”

Seseorang yang baru datang mendekat pada Rizal dengan wajah panik dan napas yang tak teratur. Rizal menoleh, memandang sosok yang baru datang tersebut. Akhirnya sebuah senyuman terukir di bibir laki-laki itu.

“Semua orang khawatir dan bingung nyariin lo,” kata gadis yang tak lain adalah Maudy.

Rizal bangkit, berusaha memasang wajah ceria sekalipun sebenarnya sangat sulit ditampilkan untuk saat ini. “Sorry, udah bikin khawatir!”

Maudy meraih lengan mulus Rizal. Ditatapnya mata Rizal yang berusaha menahan air mata. Maudy tahu, betapa kacaunya perasaan Rizal saat ini. Clara sudah menceritakan semuanya pada Maudy. Jadi, Maudy pikir ini saatnya ia menjadi sandaran untuk pemuda yang selama ini selalu bersikap baik dan hangat padanya itu.

“Lo bisa cerita ke gue, kalo lo ada masalah,” ujar Maudy.

Rizal mendongak, memandang pepohonan sekitar. Lebih tepatnya, ia berusaha menahan cairan bening yang mendesak ingin keluar dari matanya.

“Gue baik-baik aja. Nggak ada masalah apa-apa, kok.” Rizal masih berusaha menutupi.

“Biasanya kalo gue lagi sedih atau bingung, lo selalu dateng buat ngehibur dan nenangin gue. Sekarang, kasih gue kesempatan buat bales kebaikan lo!” kata Maudy.

“Jangan dipendam sendiri! Ada gue di sini.” Maudy melanjutkan.

Perlahan, Rizal mendekat. Sekali-kali terlihat rapuh di depan orang lain tidak apa-apa. Toh, faktanya memang saat ini ia butuh sandaran untuk sekadar meluapkan apa yang dirasakan. Maudy lekas meraih tubuh tinggi Rizal dan mendekapnya erat. Ditepuknya pelan-pelan punggung laki-laki yang setahun lebih tua darinya tersebut.

***

Letupan kembang api menghiasi langit malam. Beberapa orang melihatnya dengan suka cita di taman, termasuk Dewa dan Clara. Keduanya duduk berdampingan di kursi panjang taman dengan masing-masing tangan memegang choco pie dan softdrink. Setelah memulihkan pikiran yang kacau, Dewa memutuskan untuk keluar dan menyegarkan pikiran bersama Clara.

“Eh, Maudy sama Rizal kayaknya ada di kafe deket sini. Liat, deh!” ucap Clara seraya menunjukkan layar ponselnya pada Dewa yang menampakkan foto Rizal tengah makan.

Dewa melihat sekilas dengan secuil senyuman. Ia lega melihat foto-foto Rizal yang dikirim Maudy pada Clara. Sepertinya Rizal sudah baik-baik saja, karena ada Maudy di sampingnya.

“Sekarang udah lega, 'kan? Udah nggak galau lagi, 'kan?” tanya Clara sambil memasukkan ponselnya ke dalam tas.

Dewa mengangguk. Lalu, mulai menggigit kembali makanannya. Tidak tahu akan seperti apa hubungannya dengan Rizal nanti. Laki-laki itu tak mau banyak berpikir atau menebak.

Rahasia Kita [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang