49. Merindukan Saat-saat Mengganggumu

62 5 6
                                    

Seorang anak laki-laki berusia tujuh tahun berlari mengikuti sebuah mobil yang melaju dengan kecepatan tinggi. Sambil menangis, anak itu mengejar mobil tadi. Bibirnya terus memanggil ‘Papa’ sekalipun yang dipanggil tak memberi respons. Hingga kaki mungilnya tak sengaja tersandung batu dan jatuh, anak tadi masih berusaha bangun walau lututnya mengeluarkan darah segar.

“Papa, tungguin aku!” gumam Dewa dengan mata masih terpejam.

Olla yang baru datang lekas menghampiri Dewa. Diraihnya tangan Dewa dan menggenggamnya erat. “Wa! Dewa!”

Perlahan, mata Dewa terbuka. Samar-samar ia melihat sekeliling yang menampakkan tirai putih. Setelah beberapa detik mengumpulkan kesadaran, pemuda itu baru tahu kalau yang barusan hanyalah mimpi.

“Wa, gimana keadaan lo? Apa udah enakan?” tanya Olla tampak cemas.

Dewa tak menjawab. Ia berusaha bangun sekalipun kepalanya masih terasa pusing. Olla langsung membantu tanpa perintah.

“Jam berapa sekarang?” tanya Dewa.

“Jam tiga. Lo mending istirahat aja! Gue udah ngasih tahu Pak Frans kalo lo sakit,” jawab Olla.

Dewa turun dari ranjang dengan sempoyongan. Tubuhnya masih lemah, tapi ia memaksakan diri. Olla berusaha untuk membantu, tapi tangannya justru ditepis oleh Dewa. “Gue bisa sendiri.”

Walau tengah sakit, Dewa masih tetap keras kepala. Olla sendiri heran, mengapa pemuda itu tetap menyebalkan. Padahal sudah Olla rawat hingga melewatkan jam pelajaran terakhir. Perlu diketahui, bahwa yang membawa Dewa ke UKS adalah Olla. Gadis itu membopong Dewa tanpa bantuan siapapun ketika Dewa pingsan di kelas.

“Wa, lo mau kemana?” tanya Olla dengan mengejar Dewa.

Dewa tak menjawab. Kakinya terus melangkah, seolah panggilan Olla hanya angin belaka. Dewa masih berpikir untuk mengikuti jam pelajaran terakhir sekalipun tubuhnya tak kuat lagi berjalan ke kelas. Terdengar konyol dan bodoh. Kegilaan Dewa pada belajar benar-benar sudah di luar batas kewajaran.

“Wa, lo bisa pingsan lagi kalo nekat!” Olla berjalan di samping Dewa dan menyamakan langkah.

Dewa tiba-tiba menghentikan langkah. Ia menatap Olla dengan mata sayup. Tubuhnya gemetar, menahan rasa sakit yang menyelimuti tubuh. Sungguh saat ini pikiran Dewa kacau dan tak tahu harus bagaimana. Yang ada di benak Dewa ketika tengah kalut hanya obsesinya untuk menjadi jaksa dan mengalahkan Juan Anggara yang sudah membuangnya.

“Tinggalin gue sendiri!” perintah Dewa.

“Tapi Wa, lo lagi sa—”

“Lo nggak usah peduliin gue!” sergah Dewa, memotong sanggahan Olla.

Dewa kembali melangkah, meninggalkan Olla yang masih terdiam. Kali ini, ia berjalan menuju tangga. Baru saja hendak naik, seseorang menarik tangannya paksa. Dewa lekas menoleh dan mendapati seorang wanita paruh baya dengan pakaian mencolok menatapnya tajam.

“Dasar bocah nakal! Selalu aja bikin Diana cemas. Ayo kita pulang!” ucap wanita tersebut.

***

Nyonya Diana memandang Dewa yang tengah tidur setelah minum obat. Ia tak bisa menahan air matanya lagi ataupun berpura-pura kuat. Apa yang ditakutkan selama ini benar-benar terjadi. Dewa sangat kecewa setelah mengetahui kebenaran tentang ayah kandungnya hingga kesehatannya menurun drastis. Memang salah Nyonya Diana, karena tak menceritakan kebenarannya sejak awal.

“Apa rencana kamu sekarang?” tanya wanita paruh baya yang duduk di kursi belajar Dewa.

“Nggak ada,” jawab Nyonya Diana sembari menggenggam tangan sang putra.

Rahasia Kita [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang