36. Belajar Menerima

74 4 79
                                    

Suasana kelas 11 IPS 1 hari ini tampak lengang ketika jam istirahat. Hanya ada beberapa murid yang duduk di kelas sedang membaca buku, termasuk Dewa. Setelah menyelesaikan satu bab pembahasan materi, Dewa berhenti sejenak. Ia memeriksa ponsel yang tergeletak di laci meja. Niatnya untuk melihat jam dan memeriksa pesan. Sayangnya, tak ada satupun pesan yang datang. Bahkan pesan yang dikirim semalam juga tak dibaca oleh si penerima. Tentu saja hal itu menyisakan tanda tanya di benak Dewa.

“Dia kenapa?” gumam Dewa yang tanpa sadar mengkhawatirkan seseorang.

Tiga detik berikutnya, Dewa mengumpati dirinya dalam hati. Ia pasti sudah gila hingga mengkhawatirkan orang yang telah mengganggu ketenangan hidupnya. Laki-laki itu segera menggelengkan kepala, berusaha memungkiri pikiran konyolnya barusan.

Dewa memasukkan ponselnya ke dalam tas. Kemudian, bangkit dari tempat duduk dan melangkah keluar kelas. Sekadar meregangkan otot-ototnya, dengan berjalan sekitar koridor lantai dua sepertinya bukan hal buruk. Ya, itulah yang ada di pikiran Dewa saat ini.

Kaki Dewa terus melangkah melewati beberapa kelas. Suasana koridor tak begitu ramai, karena kebanyakan murid pasti tengah makan siang di kafetaria. Hal itu cukup membuat Dewa merasa lebih nyaman. Saat melewati kelas 11 IPS 5, sosok yang terkenal sebagai murid teladan tersebut berhenti. Indera penglihatannya melirik kelas dengan nilai rata-rata terendah seangkatan itu seolah tengah mencari seseorang.

“Dia nggak masuk?” bisiknya.

“Lo nyari siapa?” dengus seseorang yang tiba-tiba berbicara di dekat telinga Dewa. Secepat kilat, Dewa langsung menoleh seraya menggeser posisi sedikit menjauh. Tak lupa, pemuda itu juga memasang ekspresi kaget yang sangat kentara.

“Lo nyariin Clara, ya?” tanya lagi gadis tadi yang tak lain adalah Erlina.

“Clara hari ini nggak masuk. Nggak tahu kenapa. Eh bentar, tapi lo 'kan pacarnya, masa nggak tahu, sih?” cerocos Erlina.

Dewa bahkan belum menjawab pertanyaan yang diajukan, tapi Erlina sudah menyerobot dengan pertanyaan lain. Kini, Dewa hendak angkat bicara. Akan tetapi, Erlina kembali mendahului.

“Biar gue tebak! Lo sama Clara lagi berantem, ya?” sergah Erlina sembari mendekat pada Dewa.

“Sebenernya gue masih heran. Kok bisa, sih, lo suka sama cewek playgirl kayak Clara? Selain cantik, Clara tuh nggak punya kelebihan, tahu!” Erlina kembali berbicara. Ia tak memberi kesempatan pada Dewa sama sekali. Tentu saja hal itu membuat Dewa jengkel dan ingin menyumpal mulut Erlina dengan batu bata.

“Wa, lo ngomong, dong! Gue dari tadi ngomong sama lo. Kenapa lo diem aja?” Erlina dengan wajah tanpa dosa malah membuat Dewa seolah sudah mengacuhkannya.

“Lo dari tadi nyerocos kayak mercon, gimana gue bisa ngomong?” balas Dewa kesal.

Mendengar balasan Dewa, Erlina dibuat terkejut. Sosok Dewa yang jarang berbicara banyak, ternyata mampu menyemprotnya. Sebuah kelangkaan memang, bisa melihat Dewa berbicara lebih dari tiga kata. Sungguh Erlina harus mengenang hari bersejarah ini.

“Wah, lo ternyata bisa ngamuk juga, ya?” goda Erlina sembari terkikih.

Dewa baru sadar, jika ia telah membuang waktu berharganya. Entah otaknya bermasalah atau kurang asupan nutrisi, sampai-sampai Dewa melakukan hal konyol semacam ini. Dewa bahkan seperti tak mengenali dirinya.

Dewa segera melangkah meninggalkan Erlina. Darahnya bisa mendidih jika terus meladeni ocehan unfaedah gadis dari kelas 11 IPS 5 itu. Dewa menuruni tangga, berniat pergi ke mini market sekolah untuk membeli softdrink. Saat kakinya menginjak lantai satu, Dewa berpapasan dengan Rendra dan Maudy. Melihat dua sahabat dekat Clara tersebut, Dewa berhenti sejenak. Sementara Rendra dan Maudy melewatinya begitu saja.

Rahasia Kita [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang