29. Hari Minggu Kelabu

67 5 10
                                    

Hari Minggu merupakan hari yang ditunggu oleh kebanyakan orang. Di hari itulah orang-orang beristirahat di rumah dari sibuknya bekerja dan sekolah. Ya, walaupun tak semua orang libur kerja di hari Minggu. Seperti kebanyakan orang, sosok Dewananda Pradipta juga cukup menyukai hari Minggu, karena ia bisa mengurung diri di kamar sehari penuh dan melakukan apa yang diinginkan. Akan tetapi, itu hanya berlaku sebelum Dewa menjadi pacar gadungan Clara. Kini, mau hari Minggu atau hari apapun, kehidupan tenang Dewa akan selalu diganggu oleh Clara.

Dewa membawa satu kotak choco pie memasuki area rumah sakit. Sungguh Dewa sangat ingin mencabik-cabik Clara karena selalu mengganggunya. Entah sampai kapan Dewa harus melakukan semua perintah Clara. Jujur saja, Dewa sudah sangat muak dan bosan.

“Ayang Ewa!”

Dewa langsung menghentikan langkah tatkala Clara mencegatnya di koridor. Baguslah jika gadis itu sudah muncul. Dengan begitu, Dewa tak perlu berjalan lebih jauh sampai ke ruang rawat. Laki-laki itu lekas memberikan sesuatu di tangannya pada Clara, seolah tak mau menunggu lebih lama.

“Asik! Choco pie-nya udah dateng.” Clara terlihat bersemangat seraya menerima kotak pemberian Dewa.

“Tugas gue udah selesai. Gue pergi!” pamit Dewa sambil membalikkan tubuh.

“Kata siapa udah selesai?” Clara melipat tangan di dada.

Dewa menghela napas. Sehari saja, Dewa ingin hidup tenang tanpa gangguan. Dewa ingin kembali ke kehidupan damai dan tenangnya sebelum mengenal Clara.

“Lo mau apa lagi?” tanya Dewa geram.

Clara tersenyum miring. Kemudian, meraih lengan putih Dewa dan menariknya ke suatu tempat di rumah sakit. Dewa hanya mengikuti dengan rasa jengkel yang tak bisa disembunyikan. Seperti tak bosan, Clara selalu berbuat seenaknya pada Dewa. Gadis itu seolah tak peduli dengan perasaan Dewa. Menurut Clara, ia tak harus memikirkan perasaan Dewa karena manusia seperti Dewa juga mungkin tak berperasaan.

Sesampainya di taman rumah sakit, ada beberapa orang yang sudah menunggu Clara. Kedatangan Clara dan Dewa disambut baik oleh orang-orang di sana yang didominasi oleh anak-anak dan remaja. Tampaknya, Clara cukup akrab dengan mereka, karena sudah menjadi penghuni rumah sakit selama sepekan.

“Akhirnya Kak Clara dateng juga,” sambut Lala dengan sebuah gitar di tangan.

“Itu siapanya Kak Clara?” tanya seorang gadis berusia 10 tahun yang berdiri di samping Lala.

“Ini?” Clara menunjuk Dewa. Lalu, dirangkulnya pundak Dewa.

“Ini pacar gue. Namanya Dewa,” ungkap Clara dengan penuh semangat.

Dewa menoleh, memandang Clara. Ingin sekali ia menyumpal mulut Clara. Mereka memang pacaran, tapi hanya pura-pura demi terjaganya rahasia Dewa.

“Pacarnya Kak Clara ganteng, ya?” celetuk Lala.

Clara tersenyum sembari melirik Dewa. Sementara Dewa menampakkan ekspresi kesal. Clara menyentuh kedua ujung bibir tipis Dewa dan menariknya sedikit ke atas agar membentuk senyuman.

“Senyum, dong, biar makin ganteng!” bisik Clara di telinga Dewa.

Dengan sangat terpaksa, Dewa tersenyum. Ia benar-benar layaknya robot yang berada di bawah kendali Clara. Kini, Clara menarik tangannya ke tengah taman. Perempuan itu mengambil gitar di tangan Lala dan memberikannya pada Dewa.

“Ayo, mainin satu lagu!” perintah Clara.

“Gue nggak bisa main gitar,” tolak Dewa.

“Jangan bohong! Gue pernah liat lo main gitar sendirian di ruang musik.” Clara tak kehabisan akal untuk memaksa Dewa.

Rahasia Kita [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang