62. Saudara?

56 4 6
                                    

Dewa duduk di ranjang dengan tangan menggenggam ponsel yang layarnya sedikit retak. Setelah sadar, tak ada seorang pun di sampingnya. Laki-laki itu hanya menemukan secarik kertas di meja samping ranjang bertuliskan pesan singkat.

Seperti sebelumnya, Dewa masih harus menyembunyikan identitasnya sebagai putra dari pemilik Rumah Bunga. Oleh karena itu, sekalipun Dewa tengah dirawat di rumah sakit, Nyonya Diana hanya akan menemani saat bukan jam besuk.

Tak lama kemudian, ponsel Dewa bergetar. Ia lekas melihat pesan tersebut. Bibir tipisnya tersenyum tatkala membaca pesan disertai stiker lucu yang dikirim Clara.

[Ayang Ewa udah bangun, 'kan? Jangan lupa sarapan dan minum obat! Entar peri cantik Clara ke sana buat nemenin. Jangan kangen, ya! ^^]

Di tengah-tengah kehidupannya rumit, Dewa bersyukur memiliki Clara. Gadis itu seolah mampu mewarnai hidup Dewa yang selama ini hanya berwarna abu-abu.

Masih tak bisa Dewa lupakan, ketika Clara berusaha melindunginya semalam. Dewa masih merasa bersalah, karena telah menyeret Clara ke dalam bahaya. Jika saja Clara tak bersamanya,  mungkin Clara tak akan terluka.

Saat memikirkan Clara, mendadak Dewa teringat pada Rendra. Ia penasaran, bagaimana keadaan Rendra sekarang. Walau hubungannya dengan Rendra selama ini tidak begitu baik, setidaknya Dewa harus berterima kasih pada Rendra atas apa yang dilakukan semalam. Jika saja Rendra tak datang, mungkin saja Clara akan terluka parah demi dia dan hal itu akan membuatnya semakin merasa bersalah pada Clara.

Dewa beranjak dari ranjang, berniat untuk melihat keadaan Rendra. Akan tetapi, tiba-tiba ada orang yang masuk ke ruang rawatnya. Pemuda itu menatap sosok tersebut dengan tubuh membatu beberapa saat.

“Juan Anggara?” bisiknya terkejut.

Tuan Juan mendekat pada Dewa. Ia melihat beberapa luka yang menghiasi tubuh putranya itu. Ada rasa bersalah yang mencoba disembunyikan. Walau bagaimanapun, Dewa tetap putranya, meski tak ingin diakui.

“Gimana keadaan kamu? Apa udah baikan?” tanya Tuan Juan.

“Udah,” jawab Dewa singkat.

Jujur saja, Dewa cukup terharu mendengar pertanyaan yang dilontarkan Tuan Juan barusan. Itu terdengar seperti pria tersebut peduli dan khawatir akan keadaannya.

Tuan Juan meraih lengan Dewa yang kurus. “Mungkin, ini kedengaran kayak alasan. Tapi, aku masih berharap, kamu mau nerima penawaranku buat sekolah ke luar negeri. Ini demi kebaikan dan keselamatan kamu.”

Dengan cepat, Dewa menyingkirkan tangan Tuan Juan. Masih sama, pada akhirnya pria itu tetap ingin membuangnya, alih-alih bersikap layaknya seorang ayah.

“Apa kamu bisa jamin, kalo aku ke luar negeri, istri kamu bakal ngelepasin aku? Apa dia bakal berhenti?”

Dewa bertanya dengan mata berkaca-kaca. Ia yakin, Tuan Juan pasti tahu ini ulah istrinya. Hanya saja, Tuan Juan tak akan berani berbuat lebih, sebab sang istri cukup berkuasa.

“Dewa, aku janji, aku bakal—”

“Aku mau istirahat. Pintu keluar ada di sana!” Dewa memangkas ucapan Tuan Juan seraya menunjuk pintu.

Lagi, Tuan Juan gagal membujuk Dewa. Sepertinya, selama ini Tuan Juan terlalu menganggap enteng pemuda itu. Nyatanya, mengubah keputusan Dewa sangatlah sulit.

Tuan Juan keluar dari ruang rawat Dewa. Untuk sementara, ia akan membiarkan Dewa menenangkan diri. Percuma memaksanya saat ini. Tak ada gunanya.

Setelah kepergian Tuan Juan, tampak Rendra keluar dari tempat persembunyian di balik pintu ruangan samping ruang rawat Dewa. Secara tak sengaja, Rendra mendengar semuanya. Ia sangat kaget mengetahui fakta tentang hubungan Dewa dan Tuan Juan.

Rahasia Kita [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang