03. Hanya Pelengkap

186 4 79
                                    

Clara menguap beberapa kali saat Bu Kayla menjelaskan materi sosiologi. Maudy yang duduk di samping Clara juga sama mengantuknya. Duduk di barisan paling belakang dekat jendela membuat rasa kantuk Clara maupun Maudy jadi semakin tak tertahankan. Hembusan angin dari jendela seolah siap menidurkan mereka.

“Dy, ini orang apa nggak capek ngoceh mulu? Gue ngantuk, anjir,” ucap Clara dengan berbisik pada sang sahabat.

“Orang ini kalo nggak ngoceh begini, gajinya nggak bakal cair,” balas Maudy, ikut berbisik.

“Ra, lo udah bikin rencana buat pedekate sama Dewa, belum?” Maudy memulai obrolan dengan suara pelan. Mencoba untuk menghilangkan rasa kantuknya.

“Tadi gue berangkat lebih pagi dari biasanya, soalnya mau masang perangkap buat Yolanda. Trus, gue liat Dewa juga berangkat pagi. Jadi, gue nyoba buat deketin si Dewa. Yah, maunya ngajak ngobrol gitu. Eh, itu orang malah sok cuek banget,” beber Clara.

“Nah 'kan, gue bilang juga apa. Susah banget deketin si Dewa. Udah pasti lo bakal kalah taruhan nih,” komentar Maudy.

“Masih ada waktu 29 hari lagi, Dy. Gue nggak bakalan nyerah. Gue pasti bisa dapetin Dewa. Lo liat aja entar!” tegas Clara yang seolah lupa, bahwa di depan kelas masih ada Bu Kayla.

Tiba-tiba, sebuah penghapus melayang, mengenai ke kepala Clara. Dalam hitungan detik, Clara memegang kepalanya sambil meringis. Seisi kelas langsung mengalihkan perhatian pada Clara dan Maudy.

“Serius banget ngobrolnya. Lagi diskusiin apa? Coba ulangi materi yang Ibu jelasin tadi di depan kelas!” titah Bu Kayla sembari berjalan mendekat pada Clara dan Maudy.

“Mampus, ketahuan nih kita,” bisik Clara.

“Lo sih, Ra. Gue udah bisik-bisik, eh lo malah ngegas,” sahut Maudy dengan bergumam.

“Enak, ya, dapet tempat duduk strategis. Mana deket jendela pula,” kata Bu Kayla yang terdengar seperti menekankan kata per kata.

Suara hentakan hak sepatu Bu Kayla terdengar semakin dekat. Clara dan Maudy hanya bisa menelan ludah. Mereka baru saja membangunkan harimau dalam diri Bu Kayla. Tak lama berselang, suara bel tanda istirahat berbunyi. Semua murid bersorak gembira seraya memasukkan buku dan alat tulis ke dalam tas. Sementara Bu Kayla, mau tak mau harus keluar dari kelas. Terpaksa, Bu Kayla menghentikan langkah kakinya. Mata wanita lima puluhan tahun itu masih menatap tajam Clara dan Maudy.

“Kalian berdua, buat surat permintaan maaf sebanyak tiga ribu kata! Kumpulkan setelah jam terakhir!” perintah Bu Kayla yang langsung membuat senyuman di bibir Clara dan Maudy musnah.

Bu Kayla kembali ke depan kelas. Diambilnya beberapa buku di atas meja. Lalu, keluar kelas. Clara dan Maudy melihat kepergian Bu Kayla dengan menghela napas. Ya, sekalipun sudah masuk jam istirahat, mereka tetap mendapat hukuman.

“Kampret banget itu guru. Masih aja ngasih hukuman,” kesal Clara.

“Bodoamat sama hukuman. Mendingan kita makan dulu, yuk!” ajak Maudy yang sepertinya tak mau ambil pusing dengan hukuman dari Bu Kayla.

“Yuk, ah! Masalah hukuman, urusan nanti!” tukas Clara.

Clara dan Maudy beranjak dari tempat duduk. Keduanya melangkah bersama keluar kelas. Saat berada di depan kelas, seorang murid perempuan menjambak rambut panjang Clara dari belakang.

“Elo 'kan yang naruh lem di kursi gue! Ngaku lo, Bangsat!” teriak murid perempuan ber-tagname Yolanda Olivia tersebut.

“Kalo iya, emang kenapa?” balas Clara, malah menantang.

Yolanda geram. Ia semakin kuat menarik rambut panjang Clara. Maudy yang berusaha melerai malah ditahan oleh dua teman Yolanda. Seperti sebelum-sebelumnya, koridor kelas 11 IPS selalu ada keributan yang didalangi oleh Yolanda dan Clara. Ketika kelas 10, dua murid perempuan itu juga kerap bertengkar. Padahal, mereka sudah sering mendapat peringatan dari guru BK. Tapi, tetap saja tak ada perubahan.

Rahasia Kita [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang