70. Inikah Akhirnya?

226 6 25
                                    

Clara memakan mie gacoan dengan level paling pedas. Keringat bercucuran dari pelipis dan wajahnya. Hidung, mata, dan bibirnya sampai memerah. Namun, gadis itu masih terus memakan makanan tersebut sebagai luapan kemarahan. Tadi pagi, ia berangkat dengan hati bahagia dan penuh semangat. Siapa sangka, setelah menghabiskan waktu beberapa saat bersama, Dewa malah memutuskannya. Terlebih cara memutuskannya tanpa memberikan alasan yang pasti.

Tak lama kemudian, seseorang datang dengan menenteng satu piring mie gacoan dengan level yang sama. Ketika melihat Clara yang duduk di sana, orang itu mengurungkan niat, seperti enggan satu meja dengan Clara.

“Tunggu!” ucap Clara yang seketika membuat sosok tadi berhenti.

“Nggak ada tempat duduk lagi. Lo mau makan sambil berdiri kayak sapi?” lanjut Clara, seolah tak keberatan jika orang tadi makan satu meja dengannya.

Sosok tersebut menghela napas. Di saat seperti ini, mengapa ia malah bertemu dengan musuh bebuyutannya. Dunia ini jadi seperti hanya seluas daun kelor.

Sosok gadis itupun duduk di seberang meja Clara. Ia meletakkan piring yang dibawa ke atas meja. Dilihatnya Clara yang tampak sedang tidak baik-baik saja.

“Lo makan sambil nangis?” tanyanya pada Clara.

Mendengar pertanyaan gadis tadi, Clara langsung mendongak. Dengan cepat, ia mengambil tisu dan mengelap keringat beserta air matanya.

“Sotoy! Gue kepedesan,” sanggah Clara.

“Terserah lo! Gue juga nggak peduli. Lagian, gue ke sini cuma mau makan,” balas orang itu yang tak lain adalah Yolanda.

Yolanda mulai melahap mienya. Sama seperti Clara, Yolanda meluapkan emosi dengan makan makanan pedas. Pelarian di kala hati sedang gundah memang tak ada yang lebih baik dari makan.

Diam-diam, Clara memerhatikan Yolanda. Meski tak terdengar begitu jelas, tapi Clara tahu itu sebuah tangisan yang berusaha ditutupi dengan suara kepedasan.

“Lo nangis, 'kan?” Kini, giliran Clara yang menebak.

“Kalo iya, kenapa? Emang salah, kalo gue nangis? Emang salah, kalo gue butuh kepastian? Gue udah baper, tapi dia dengan entengnya bilang ‘kepastian apa?’ bangsat banget emang,” cerocos Yolanda yang tanpa sadar mencurahkan perasaannya.

Clara tersenyum. Ternyata Yolanda juga sedang patah hati. Hari ini, ada banyak kejutan yang menghampiri Clara. Di antaranya, kejutan tentang putusnya ia dengan Dewa dan kejutan momen saat ini. Setelah permusuhannya dengan Yolanda selama dua tahun terakhir karena insiden paku di dalam sepatu, Clara tak menyangka akan makan mie gacoan semeja dengan Yolanda dalam keadaan sama-sama patah hati.

“Emang bangsat dan berengsek. Semua cowok pinter suka nyakitin,” timpal Clara sambil kembali melahap makanannya.

Mendengar perkataan Clara, Yolanda menghentikan kegiatan. Ia memandang Clara heran, sebab Clara seperti tahu laki-laki yang dimaksud.

“Lo tahu cowok yang gue maksud?” Yolanda menyipitkan mata.

“Ya tahulah! Gavin, 'kan?” balas Clara sembari mengalihkan pandangan pada Yolanda.

Yolanda mengangguk sebagai jawaban. Beberapa waktu terakhir, ia dan Gavin berhubungan baik dan cukup dekat. Ia pikir, Gavin akan memberikan kepastian tentang hubungan mereka sebelum pergi ke luar kota untuk melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi. Sayangnya, Gavin tak mengatakan sesuatu yang pasti setelah bertemu beberapa saat lalu.

“Kalo lo? Tumbenan lo galau? Kata Gavin, lo sama Dewa lagi lengket-lengketnya.” Kini, giliran Yolanda yang bertanya tentang sebab kegalauan Clara.

“Gue diputusin pas lagi sayang-sayangnya.” Clara menggebrak meja dengan satu tangan.

Rahasia Kita [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang