04. Dua Sisi Berbeda Clara

161 5 29
                                    

Rendra lari menaiki tangga dengan panik. Setelah mendapat telepon dari Maudy tentang ulah Tristan di kafetaria, pemuda itu langsung pergi ke tempat Tristan membawa Clara. Menurut beberapa murid yang melihat, Tristan membawa Clara ke rooftop sekolah. Entah rencana gila apa yang Tristan siapkan. Yang jelas, Rendra sangat menghawatirkan Clara.

Keringat bercucuran membasahi kening dan pelipis Rendra. Napasnya terdengar tak teratur. Sesampainya di lantai empat, Rendra membuka pintu menuju rooftop. Ia dengan cepat memasuki area rooftop. Sembari mengatur napas, indera penglihatan Rendra menangkap sebuah pemandangan tak biasa. Ternyata, tidak hanya Clara dan Tristan yang berada di sana. Tapi, ada orang lain.

“Gavin?” bisik Rendra, memandang seorang laki-laki tinggi berdiri di depan Clara, seolah melindungi Clara dari Tristan.

“Lo pergi dari sini atau gue laporin tindakan nekad lo hari ini ke guru BK!” ancam Gavin dengan suara lantang.

“Ini urusan gue sama Clara! Lo nggak usah ikut campur!” balas Tristan berteriak.

“Clara!” panggil Rendra.

Suara Rendra mengalihkan perhatian Gavin, Clara dan Tristan. Ketiganya melihat Rendra dengan berbagai ekspresi. Gavin dengan ekspresi kaget. Sedangkan Clara tampak lega, berharap kedatangan Rendra bisa membantu. Berbeda dari Gavin dan Clara, Tristan terlihat marah dan semakin kesal. Entah mengapa, Rendra selalu mencampuri urusan Clara. Padahal, Rendra hanya teman Clara. Fakta tersebut membuat Tristan tak menyukai Rendra.

Tristan kini berpikir dua kali. Mungkin melawan Gavin, ia masih mampu. Tapi, jika ditambah seorang lagi, sama saja dengan menjatuhkan diri ke dalam sumur. Akhirnya, Tristan memutuskan untuk pergi. Laki-laki itu berjalan melewati Rendra sembari melirik Rendra sinis.

Selepas kepergian Tristan, Clara berlari pada Rendra. Gavin seperti tak terlihat. Padahal, Gavin adalah orang yang posisinya paling dekat dengan Clara. Gavin melihat Clara dengan mata berkaca-kaca. Tangan berototnya mengepal kuat.

“Ra, lo nggak apa-apa, 'kan?” tanya Rendra khawatir.

“Gue nggak apa-apa, Ren. Kita ke kafetaria, yuk! Mumpung belum masuk,” jawab Clara dengan menarik tangan Rendra agar lekas pergi bersamanya dari rooftop.

Rendra berjalan mengikuti Clara sambil sesekali menoleh ke arah Gavin yang masih pada posisinya. Rendra bisa melihat bagaimana perasaan Gavin yang tak pernah berubah. Walau sudah setahun lalu putus. Tapi Rendra tahu, bahwa Gavin masih memiliki perasaan pada Clara.

***

Sinar matahari sore menembus jendela kaca kelas 11 IPS 1. Bel tanda pulang baru berbunyi beberapa detik lalu. Semua murid bersiap untuk pulang. Sementara guru yang mengisi pelajaran di jam terakhir sudah keluar terlebih dahulu. Seperti murid lain, Dewa membereskan barang-barangnya dan memasukkannya ke dalam tas.

“Wa, ada titipan buat lo.”

Seorang murid perempuan yang duduk di belakang Dewa memberi Dewa sekotak kue berukuran kecil. Di atas kotak tersebut, tertempel kertas bertuliskan kata-kata penyemangat. Dewa hanya melihat kotak itu sekilas. Kemudian, membawanya keluar kelas dan melemparnya ke tempat sampah.

Pemuda berhidung mancung itu memasang earphone di kedua telinga. Melangkah santai sambil membaca buku. Berjalan di antara banyak murid, Dewa tak pernah merasa berada di keramaian. Seramai apapun suasana sekitar, hatinya tetap sepi dan sunyi.

Saat menuruni tangga, seorang gadis mencegat Dewa. Membuat Dewa harus menghentikan langkah, karena gadis tersebut menghalangi jalannya. Dewa menurunkan earphone dan mengalungkannya di leher.

“Gimana? Kukisnya enak, nggak?” tanya murid perempuan yang tak lain adalah Clara.

“Nggak tahu,” jawab Dewa seraya menyingkirkan tubuh Clara dari hadapannya.

Rahasia Kita [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang