05. Bukan Kepribadian Ganda

156 6 16
                                    

Clara meniup sosis bakar jumbo sembari menunggu balasan pesan dari Rendra dan Maudy. Seperti hari-hari biasa, Rendra dan Maudy sibuk dengan kegiatan masing-masing. Rendra dengan bimbelnya dan Maudy dengan les pianonya. Sedangkan Clara tak memiliki kegiatan apa-apa sepulang sekolah. Sebenarnya, ayah Clara sudah mendaftarkan Clara di salah satu tempat bimbel terkenal. Namun, Clara tak pernah mau datang. Selain karena memang malas belajar, Clara juga sengaja ingin membuat sang ayah marah.

Clara mengunyah makanannya sambil melihat beberapa orang yang lewat. Suasana taman kota tak seramai saat akhir pekan. Hanya ada beberapa orang yang datang ke sana untuk sekadar menghilangkan rasa bosan. Seperti halnya dengan Clara, selalu keluar di malam hari untuk sekadar mengisi perut dan menghilangkan rasa bosan.

Ponsel Clara bergetar, menampakkan sebuah pesan dari Maudy. Clara lekas melihat pesan tersebut. Setelah membaca pesan, ekspresi wajah Clara langsung berubah. Sepertinya Maudy tak bisa datang menemani Clara malam ini. Ya, Maudy sendiri cukup sibuk dengan kegiatannya. Sekalipun Maudy tak suka bermain piano dan merasa bahwa menjadi pianis bukan cita-citanya. Tapi, gadis itu tetap melakukan hal yang tak diinginkan karena paksaan dari orang tua. Maudy memang sedikit berbeda dari Clara. Jika Clara adalah sosok anak pembangkang, Maudy justru sebaliknya.

Clara menghela napas. Kemudian, ia mengetuk layar ponsel untuk membalas pesan dari sang sahabat. Clara tentu sudah tahu bagaimana sulitnya posisi Maudy. Oleh karena itu, ia berusaha memaklumi. Kini, tinggal Rendra yang belum memberi jawaban. Sama halnya dengan Maudy, Rendra juga mendapat tekanan dari orang tuanya.

Clara membuka galeri di ponsel yang menampakkan folder tersembunyi. Dibukanya folder tersebut. Terlihat foto-foto Clara beberapa tahun lalu. Diantaranya foto Clara bersama mendiang sang ibu dan foto-foto Clara bersama Rendra, Maudy dan Gavin yang tampak bahagia menikmati saat-saat liburan sekolah. Jari mungil Clara menyentuh potret Gavin yang sedang tersenyum. Jika bisa, Clara sangat ingin kembali ke saat-saat membahagiakan itu.

Mata indah Clara berkaca-kaca, seolah menahan air mata yang mendesak ingin keluar. Entah sampai kapan Clara akan menahan rasa mengganjal di hatinya. Putusnya ia dan Gavin setahun lalu masih menjadi hal yang harus diselesaikan oleh kedua belah pihak.

Dari kejauhan, Gavin melihat Clara dengan perasaan bersalah. Rasa bersalah itu terus tumbuh seiring berjalannya waktu. Juga, seiring dengan bungkamnya Clara padanya. Jika boleh jujur, perasaan Gavin untuk Clara tak pernah berubah. Sayangnya, mereka tak akan pernah bisa bersama lagi sebagai sepasang kekasih. Hal itu terlalu mustahil.

“Ra, seandainya hari itu gue jujur sama lo, apa semuanya bakal baik-baik aja? Apa kita tetep bisa kayak dulu lagi?” bisik Gavin dengan perasaan getir.

***

Suasana kelas 11 IPS 1 tampak tenang sekalipun sedang tak ada guru di sana. Guru yang seharusnya mengajar ada urusan mendadak dan hanya meninggalkan beberapa tugas yang harus dikerjakan. Kelas unggulan memang berbeda dengan kelas biasa. Para murid di kelas tersebut sudah terpilih dengan nilai akademis terbaik.

Dewa telah selesai mengerjakan tugas yang diberikan sang guru. Padahal, murid lain masih sibuk mengerjakan. Pemuda itu bangkit dari tempat duduk untuk mengumpulkan tugasnya di meja guru. Beberapa murid melihat Dewa dengan tatapan kesal. Di kelas tersebut, persaingan untuk menjadi yang terbaik memang ketat. Namun, posisi Dewa masih tetap berada di puncak, belum ada satu pun murid lain yang bisa menggesernya. Bahkan Rendra yang juga belajar keras.

“Kalo udah selesai ngerjain tugas, boleh keluar, 'kan?” tanya Dewa pada Olla, sang ketua kelas.

“Iya.” Olla menghentikan kegiatannya menulis jawaban. “Oh iya, Wa, jawaban nomer tujuh sebenernya yang mana, sih? Gue hitung pake rumus ini, tapi nggak nemuin jawaban yang cocok.”

Rahasia Kita [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang