33. Ketidakjelasan Perasaan Clara

63 4 0
                                    

Embun di ujung dedaunan mulai menguap seiring dengan cahaya matahari yang mulai terang. Jam sudah menunjukkan pukul enam lebih dua puluh menit. Tinggal empat puluh menit lagi waktu yang tersisa bagi Dewa untuk sampai ke sekolah. Biasanya, jam enam lebih lima belas menit Dewa sudah sampai di sekolah. Namun, karena membelikan bakpao untuk Clara, Dewa jadi terlambat beberapa menit dari biasanya.

Dewa berdiri di halte bersama calon penumpang lain menunggu kedatangan bus kota yang biasa melintas. Sesekali laki-laki itu melirik arloji untuk memastikan waktu yang masih tersisa. Beberapa saat kemudian, bus yang ditunggu datang. Ketika bus berhenti, Dewa lekas naik dan mencari tempat duduk. Ada cukup banyak tempat duduk yang masih kosong. Dengan cepat, Dewa duduk di kursi dekat jendela. Kini, ia memasang earphone untuk mendengarkan musik selama perjalanan menuju sekolah.

Tak sampai lima menit, bus kembali berhenti. Kali ini berhenti di halte depan SMA Pillar Nusantara. Beberapa penumpang yang merupakan murid dari sekolah tersebut turun bus, termasuk Dewa. Dengan tangan menenteng satu kantong plastik bakpao dan earphone yang melingkar di leher, Dewa melangkahkan kaki bersama murid lain memasuki area sekolah. Baru sampai di halaman, Dewa dicegat oleh Clara. Melihat gelagat gadis itu, sepertinya ia sudah menunggu Dewa sejak tadi.

Dewa langsung menyodorkan kantong plastik di tangannya pada Clara. Ekspresi wajah Dewa masih seperti biasanya, yaitu kesal, seolah tak ikhlas melakukan perintah Clara.

Baru saja Clara akan mengambil benda tersebut, sebuah bola basket mengenai tangan Dewa. Seketika kantong plastik yang ada di tangan Dewa jatuh, membuat bakpao di dalamnya ikut jatuh berceceran. Clara melihat ke arah bola basket tadi berasal. Di ujung halaman, Clara melihat Gery dan Damar tertawa puas.

“Pagi-pagi udah nyari gara-gara,” bisik Clara.

Clara berniat menghampiri Gery dan Damar untuk membuat perhitungan. Namun, Dewa mencegahnya dengan meraih lengan Clara. “Nggak usah diladenin!”

Clara menoleh dan memandang Dewa intens. “Tapi mereka duluan yang rese, Wa!”

“Entar sepulang sekolah gue beliin lagi,” ujar Dewa. Kemudian, melepaskan tautan tangannya dari lengan Clara. Pemuda itu berjalan meninggalkan Clara menuju kelasnya yang berada di lantai dua.

Clara melihat punggung Dewa dengan banyak tanda tanya bergelayutan di kepala. Setelah semua yang Gery dan Damar lakukan, Dewa masih tetap diam, seolah tak ada keinginan untuk membalas perbuatan mereka. Hal itu membuat Clara kesal dan geram. Padahal bukan dia yang diganggu oleh dua anggota tim basket sekolah itu.

“Ra, kenapa berdiri di sini?” tanya Maudy yang baru datang.

“Lho, ini bakpao siapa?” Maudy kembali bertanya setelah melihat beberapa bakpao berceceran di sekitar sepatu Clara.

“Bakpao gue dari Dewa. Ah, sialan banget si Gery sama Damar. Gara-gara ulah mereka, gue jadi nggak bisa makan bakpao sekarang,” ungkap Clara seraya memandang jengkel ke arah Gery dan Damar yang kini kembali bermain basket.

Maudy ikut melihat apa yang Clara lihat. Saat ini, Clara sedang mencari celah untuk membalas perbuatan dua cecunguk itu.

“Kenapa kalian liatin Gery sama Damar?” tanya Rendra yang tiba-tiba berdiri di tengah Clara dan Maudy. Kedatangan Rendra yang mendadak tentu saja mengejutkan Clara dan Maudy. Keduanya nyaris mengumpat dengan menyebut isi kebun binatang.

“Pagi-pagi bukannya langsung masuk kelas, malah bengong di sini,” tutur Rendra. Lalu, mengeluarkan dua buku tugas dari tas. Diberikannya buku tugas tersebut pada pemiliknya.

“Kewajiban gue ngerjain tugas buat kalian udah selesai. Akhirnya, gue bebas!” papar Rendra lega.

“Wah, nggak kerasa udah sebulan aja. Ra, berarti lo sama Dewa udah pacaran selama sebulan, dong!” kata Maudy.

Rahasia Kita [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang