Seorang gadis dengan rambut kuncir kuda keluar dari salah satu toko roti dekat rumah sakit. Tangannya memegang satu kantong plastik ukuran sedang yang berisi beberapa bungkus roti panggang. Sosok yang masih mengenakan seragam sekolah dengan tagname Yolanda Olivia itu mempercepat langkah memasuki area rumah sakit. Ia harus cepat, karena ada seseorang yang sudah menunggu untuk menyantap roti yang baru dibelinya.
Tak butuh waktu lama bagi Yolanda untuk sampai ke salah satu ruang rawat. Sebelum memasuki ruang rawat tersebut, gadis manis itu menata rambutnya terlebih dahulu. Tak lupa, ia juga memasang senyuman terbaiknya. Setelah merasa siap, Yolanda membuka pintu ruang rawat.
“Vin, yang rasa keju habis. Tinggal rasa cokelat sama stroberi,” katanya.
Yolanda pikir, di ruang rawat itu hanya ada satu orang, yaitu Gavin. Akan tetapi, sepertinya Yolanda salah perkiraan. Kini, netra Yolanda mendapati orang lain di sana yang tengah menatapnya kaget dan heran.
“Lo ngapain ke sini?” tanya seorang gadis yang duduk di samping ranjang Gavin.
Yolanda berkedip dengan kikuk. Ia hampir lupa, kalau Gavin adalah kakak tiri Clara, musuh bebuyutannya. Perempuan itu mengumpati dirinya dalam hati. Bisa-bisanya ia nekat menjenguk Gavin di rumah sakit dan bertemu dengan Clara.
“Sejak kapan lo akrab sama dia?” Clara sekarang menatap Gavin tajam.
“Sejak ... sejak kapan, ya? Gue lupa,” jawab Gavin sambil cengengesan.
Gavin tahu benar, bagaimana hubungan Clara dan Yolanda selama ini. Dua gadis itu tak pernah akur sejak kelas 10. Bahkan kerap bertengkar di sekolah. Akan tetapi, Gavin bisa apa. Kedatangan Yolanda ke rumah sakit dengan niat baik, yaitu menjenguknya. Mana mungkin Gavin mengusirnya hanya karena sang adik kelas memiliki hubungan buruk dengan Clara.
Yolanda jadi merasa bersalah. Ia tahu, keberadaannya di sana membuat Gavin serba salah. Murid perempuan itu lekas meletakkan roti yang dibelinya ke atas meja. Kemudian, mengambil tasnya yang bertengger di atas sofa.
“Udah mau malem, gue pulang dulu!” pamit Yolanda sembari mempercepat langkah keluar dari ruang rawat Gavin.
“Hati-hati!” balas Gavin dengan ekspresi agak kikuk, sebab Clara memelototinya.
Selepas kepergian Yolanda, Clara masih pada posisinya dengan tatapan mata yang mematikan. Gavin berbaring seraya menutupi wajahnya dengan selimut. Clara bak singa kelaparan yang siap menerkam Gavin.
“Lo sendiri yang jelasin, atau gue nanya sama orang lain?” cetus Clara, memberi pilihan.
“Tiba-tiba kepala gue pusing. Lain kali aja gue jelasin,” balas Gavin dari balik selimut.
Clara mengepalkan tangan. Dalam waktu sehari, ia dibuat kesal oleh dua orang sekaligus. Kalau saja Gavin tak sedang sakit, mungkin Clara sudah memaksanya bicara. Kali ini, Clara harus menahan diri. Ia melangkah keluar dari ruangan.
Percuma saja Clara menceritakan masalahnya pada Gavin layaknya seorang adik. Sepertinya ia terlalu memaksakan diri menerima kenyataan. Padahal hatinya masih sakit setiap melihat Gavin dekat dengan gadis lain. Rasanya tak adil bagi Clara. Ketika ia masih memiliki perasaan yang tersisa, Gavin malah dengan cepat berpindah ke lain hati.
“Nggak Gavin, nggak Rendra! Semuanya bangsat!” kesal Clara.
***
Clara memakan es krim ukuran jumbo seorang diri di sudut kedai. Di saat seperti ini, kupon makan es krim gratis memang sangat bermanfaat. Clara pikir dengan makan es krim, kepalanya akan sedikit dingin. Sayang sekali, dinginnya es krim hanya bisa mendinginkan area mulut dan tenggorokan. Sementara kepalanya masih panas memikirkan kedekatan Gavin dengan Yolanda yang bahkan ia tak tahu sudah sejauh mana.
KAMU SEDANG MEMBACA
Rahasia Kita [END]
Teen FictionDewananda Pradipta, pemuda berusia 17 tahun yang sengaja menutup diri dari orang lain. Bukan tanpa alasan, Dewa menjadi sosok yang sangat tertutup. Ia memiliki banyak rahasia yang disembunyikan. Saking tertutupnya, Dewa nyaris tak pernah berbicara d...