Hari demi hari terus berlalu. Waktu berjalan tanpa peduli pada kehidupan siapapun. Waktu terus bergulir seolah tak mau menunggu. Ujian semester genap telah selesai dilaksanakan. Kini, saatnya melihat hasil kerja keras di papan pengumuman masing-masing jurusan. Seperti biasa, peringkat dan nilai masing-masing murid akan terpampang jelas dari peringkat pertama sampai terakhir per angkatan.
Maudy dengan semangat membelah kerumunan papan pengumuman untuk jurusan IPS. Ia penasaran, apakah berhasil masuk 50 besar teratas atau tidak. Tiga bulan terakhir, ia sudah belajar keras hingga kepalanya pusing. Tentunya gadis itu berharap mendapat hasil yang memuaskan.
“Gue peringkat 50. Gue beneran peringkat 50.” Maudy berucap girang.
“Woah, lo meningkat pesat, Dy,” celetuk Tata setelah melihat peringkat Maudy.
Beberapa saat kemudian, Clara ikut membelah kerumunan. Dengan membawa dua minuman, ia melihat barisan peringkat teratas. Masih tidak berubah, nama Dewa tetap berada di urutan pertama.
“Ra, gue berhasil masuk 50 besar,” kata Maudy dengan wajah senang.
“Seriusan? Woah, hebat juga lo!” balas Clara, terlihat ikut senang.
“Lega banget gue. Akhirnya gue bisa ngelakuin apa yang gue suka.” Maudy memeluk Clara.
Tak lama setelah memeluk Clara, Maudy baru ingat sesuatu. Ia lekas melepaskan pelukannya. Lalu, kembali melihat papan pengumuman.
“Lo liat peringkat siapa, Dy?” tanya Clara heran.
“Rizal sama Rendra. Mereka pada kemana, ya? Kenapa nggak pada liat papan pengumuman?” Maudy menjawab seraya keluar dari kerumunan.
“Anak-anak dari kelas unggulan lagi ada di kelas. Kata Dewa, mereka dikasih materi awal buat persiapan masuk kelas 12 unggulan. Katanya, pas liburan nanti, mereka disuruh tetep masuk buat belajar gila-gilaan biar bisa masuk universitas terbaik di luar negeri,” terang Clara, seolah tahu seluk-beluk kelas unggulan.
Maudy mengangguk. Seberat itu beban berada di kelas unggulan. Bisa masuk universitas negeri terbaik dalam negeri saja, sudah sangat membanggakan. Akan tetapi, anak-anak yang berada di kelas unggulan memang dituntut untuk berada di atas rata-rata.
“Oh iya, Rizal peringkat berapa?” Clara menyedot minumannya.
“Peringkat delapan. Oh iya, Rendra turun jadi peringkat tiga. Nyokapnya pasti bakal ngamuk lagi sama dia, nih.” Kini, Maudy malah mengkhawatirkan Rendra.
“Nggak bakal ngamuk. Lagian, keadaan Rendra belum sepenuhnya pulih. Wajar aja kalo nilai ujiannya nggak bisa maksimal,” ungkap Clara.
“Ra, lo nggak liat peringkat lo?” Erlina yang baru datang ikut bergabung.
“Peringkat Clara masih sama. Gue kira, setelah pacaran sama cowok genius, Clara bakal ketularan genius,” sahut Tata disertai tawa.
Clara menelan bobanya terlebih dahulu sebelum membalas perkataan Tata. Mulut Tata memang dibuat untuk menjulid dan membuat jengkel.
“Lo kira kegeniusan kayak virus yang bisa nular?” kilah Clara.
Ketika teman-temannya sibuk saling meledek, Maudy malah sibuk dengan ponselnya. Ia sudah mengirim pesan singkat pada Rizal, tetapi tak mendapat respons. Padahal ia ingin menemui Rizal untuk berterima kasih. Jika bukan karena bantuan Rizal, mungkin ia tak akan bisa masuk 50 besar peringkat teratas.
“Dy, ke kafetaria, yuk!” ajak Clara dan Erlina.
“Kalian duluan aja! Gue mau nyari Rizal dulu.,” pamit Maudy sambil berjalan.
“Cie, udah jadian, nih?” goda Erlina dan Tata. Akan tetapi tak digubris Maudy.
Meski Rizal belum membalas pesannya, tetapi Maudy menebak, saat ini Rizal pasti berada di lapangan basket. Kedekatan Maudy dan Rizal sudah berada pada tahap mengetahui tempat yang biasa didatangi saat sedang kalut atau bingung.
KAMU SEDANG MEMBACA
Rahasia Kita [END]
Teen FictionDewananda Pradipta, pemuda berusia 17 tahun yang sengaja menutup diri dari orang lain. Bukan tanpa alasan, Dewa menjadi sosok yang sangat tertutup. Ia memiliki banyak rahasia yang disembunyikan. Saking tertutupnya, Dewa nyaris tak pernah berbicara d...