46. Robohnya Pertahanan Hati Dewa

77 5 2
                                    

Kata orang, setiap manusia memiliki takdir masing-masing. Takdir itu mengikuti dari lahir hingga ke liang lahat. Seberapa keras seseorang mencoba bersembunyi dari takdir, takdir tersebut akan tetap menemukannya. Seperti halnya mati dan hidupnya seseorang. Seberbahaya apapun yang dihadapi, jika ditakdirkan selamat, maka akan selamat. Sebaliknya, setidakberbahaya apapun yang dihadapi, jika memang ditakdirkan mati, maka akan ada saja jalan yang membawa pada kematian. Lalu, percayakah kalian pada takdir?

“Geser ke kiri sedikit, Mas!” ucap Nyonya Kirana sambil melihat posisi foto yang dipasang oleh Tuan Hendra di dinding ruang tamu.

Sesuai dengan petunjuk yang diberikan sang istri, Tuan Hendra menggeser posisi pigura foto. Setelah selesai, pria itu turun dari tangga. Ia bergabung dengan istrinya untuk melihat foto keluarga mereka yang pada akhirnya terpasang. Tuan Hendra dan Nyonya Kirana tersenyum bahagia.

“Kalo diperhatiin dari foto, Gavin mirip kamu, ya?” celetuk Tuan Hendra.

“Iya. Dia emang mirip sama aku. Tapi aku berharap, takdirnya lebih baik dari aku,” balas Nyonya Kirana dengan mata berkaca-kaca.

Tuan Hendra menatap sang istri lekat. Ia mengusap lembut punggung Nyonya Kirana, seolah menenangkannya. Kemudian, dirangkulnya pundak sang istri. Nyonya Kirana sudah melewati banyak hal menyakitkan. Tuan Hendra pikir, kini saatnya ia menjadi kebahagiaan bagi wanita itu.

Beberapa saat kemudian, Clara turun dari tangga dengan pakaian yang sudah rapi. Di hari libur seperti sekarang, Clara tentu tak mau diam saja di rumah. Perempuan itu sudah memiliki rencana untuk menghabiskan akhir pekannya di luar.

“Clara, kamu mau kemana, Nak?” tanya Tuan Hendra.

“Ke sekolah liat pertandingan basket, Pa.” Clara menjawab seraya berjalan menuju pintu.

“Itu anak udah mau ujian semester ganjil, masih aja nggak mau belajar.” Tuan Hendra menggelengkan kepala melihat betapa santainya sang putri.

Clara melangkah keluar dari kediaman keluarganya. Ia melewati berbagai tanaman dan bunga yang menghiasi bagian depan rumah. Kakinya terus berjalan menuju pintu gerbang. Dibukanya pintu besar yang terdiri dari barisan besi itu. Sesekali ia melihat layar ponselnya, seolah sedang menunggu balasan pesan dari seseorang.

“Nggak dibales pesan gue. Pasti ngaku sakit cuma dijadiin alasan biar nggak gue suruh-suruh.” Clara bermonolog.

Gadis itu menutup kembali pintu gerbang. Lalu, menghentikan taksi yang kebetulan lewat. Clara masuk ke taksi dan duduk di kursi penumpang. Masih dengan mata fokus menatap layar ponsel.

“Kemana, Nak?” tanya sopir taksi.

“Ke SMA Pilar Nusantara, eh—” Clara berpikir sejenak. Ia masih tak percaya dengan balasan pesan Dewa yang mengaku sedang sakit. Gadis itu ingin membuktikan kebenarannya. Jadi, Clara berencana ke rumah Dewa terlebih dulu, baru ke sekolah untuk menonton pertandingan babak final pemilihan anggota tim basket.

“Gang samping Rumah Bunga.” Clara kini menjawab mantap.

Si sopir mengangguk dan mulai melajukan taksi dengan kecepatan normal. Sepanjang perjalanan, Clara masih terus mengirim pesan pada budaknya, Dewa. Perempuan itu tak akan menyerah sampai Dewa membalas pesannya. Tak peduli jika nanti Dewa mengamuk.

“Jangan panggil gue Clara, kalo gue percaya gitu aja sama ketikan lo, Manusia Es!” gumam Clara.

Taksi yang Clara tumpangi berhenti tatkala sampai di gang samping Rumah Bunga. Clara langsung membayar ongkos taksi. Setelahnya, turun dari taksi dan berlari memasuki gang yang cukup sepi itu. Seperti sebelumnya, Clara akan bertamu ke rumah Dewa lewat pintu belakang. Ya, sebab jika lewat pintu depan, Clara bisa disangka salah satu pekerja atau pelanggan rumah bordil tersebut.

Rahasia Kita [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang