Gavin dan Rendra duduk di ujung rooftop, memandang anggota tim sepak bola sekolah tengah latihan di lapangan. Angin kencang yang bertiup membuat rambut dua murid laki-laki beda kelas itu bergerak-gerak. Obrolan keduanya berawal dari basa-basi dulu. Kebiasaan dua orang ini memang tak pernah berubah. Tatkala salah satunya merasa gundah, pasti akan mengajak bertemu yang lain.
“Mau sampe kapan, lo nyembunyiin perasaan lo?” Gavin yang sudah bosan, pada akhirnya mulai menggiring pembicaraan ke arah yang sesungguhnya.
“Apa gunanya gue ngungkapin perasaan gue? Dewa udah ngeduluin gue. Rasanya, gue dikalahin Dewa dalam segala hal.” Rendra mencengkeram kaleng softdrink di tangan sampai bengkok.
Rendra menoleh, memandang Gavin. Masih sama seperti dulu, ia tetap merasa bahwa apa yang terjadi sekarang adalah kesalahan Gavin. Seandainya Gavin dan Clara tidak putus, Clara tak akan dekat, bahkan berpacaran dengan Dewa.
“Semua salah lo, Vin!” ucap Rendra.
“Gue mulu yang lo salahin!” Gavin menenggak minumannya hingga habis.
“Dari dulu, gue cuma rela Clara sama lo. Nggak apa-apa kalo selamanya gue cuma jadi temennya Clara. Asal cowok yang sama Clara adalah lo,” beber Rendra.
Gavin menghela napas. Apakah harus senang atau kesal, ia tak tahu. Rendra begitu mengalah padanya. Akan tetapi, ia malah menyia-nyiakannya.
“Sorry, Ren! Tapi takdir gue nggak sama Clara. Lagian, Clara sama Dewa baru pacaran, 'kan? Masih bisa putus, kok.” Gavin terkekeh.
Rendra melempar kaleng softdrink-nya pada Gavin. Selalu saja menanggapi curahan hatinya dengan candaan. Padahal Rendra sedang serius dan malas bercanda.
“Ren, sebagai temen, gue mau ngasih saran ke lo,” ujar Gavin.
“Saran apaan?” balas Rendra, tak bisa menyembunyikan kekesalannya.
“Gimana kalo lo nyoba buka hati buat cewek lain? Ngarepin Clara sama aja dengan nyakitin hati lo. Di mata Clara, lo itu sahabat yang nggak akan bisa digantiin siapapun.” Kali ini, Gavin berbicara serius.
Rendra melihat lurus ke depan. Pada dasarnya, menjadi sahabat tak akan pernah berakhir dan memiliki makna berbeda dari pacar. Namun, Rendra sudah masuk terlalu jauh ke dalam harapan yang dibuat sendiri. Rasanya sulit untuk keluar.
“Buka hati nggak semudah buka celana, Vin. Lo kira, gue kayak lo, yang dengan mudah jatuh cinta lagi?” Lagi-lagi, Rendra menempatkan Gavin sebagai orang bersalah dan menyindirnya.
Gavin menoleh. Pasti Rendra akan mengungkit tentang hubungannya dengan Yolanda. Sepertinya Rendra masih penasaran.
“Gue sama Yolanda nggak kayak yang lo pikirin, Ren. Lagian, sebenernya Yolanda baik, kok. Sifatnya hampir kayak Clara, suka emosian,” papar Gavin.
“Udah jalan bareng, udah saling ngasih sesuatu, tiap hari chat-an, masih nggak mau ngaku. Vin, gue tahu, gue nggak berhak ngatur, lo mau pacaran sama siapa. Tapi sama Yolanda, apa lo nggak mikirin perasaan Clara? Lo sekarang jadi kakaknya Clara, sementara Yolanda sama Clara, lo tahu sendiri hubungan mereka kayak apa,” oceh Rendra, mengeluarkan apa yang mengganjal di benaknya.
Gavin diam, seolah berpikir sejenak. Sebelum dekat dengan Yolanda, ia sudah mengetahui konsekuensinya. Hubungan buruk Clara dan Yolanda sebenarnya bisa diperbaiki. Toh, awalnya mereka hanya salah paham.
***
Clara membereskan alat tulis di atas meja dengan cepat saat bel tanda pulang berbunyi. Setelah melewati sesi belajar mandiri yang membosankan, akhirnya waktu yang ditunggu datang. Ia harus segera keluar kelas dan mencegat Dewa. Hari ini Clara ingin menunjukkan pada semua orang, terutama Gavin, kalau ia dan Dewa sudah berpacaran dan saat pulang sekolah, ia tak harus pulang bersama Gavin.
KAMU SEDANG MEMBACA
Rahasia Kita [END]
Teen FictionDewananda Pradipta, pemuda berusia 17 tahun yang sengaja menutup diri dari orang lain. Bukan tanpa alasan, Dewa menjadi sosok yang sangat tertutup. Ia memiliki banyak rahasia yang disembunyikan. Saking tertutupnya, Dewa nyaris tak pernah berbicara d...