69. Perpisahan Kita

95 4 31
                                    

Pagi-pagi sekali, Clara sudah bangun dan membantu Nyonya Kirana membuat sarapan. Dapur yang biasanya tenang, mendadak jadi ramai karena adanya Clara. Bagaimana tak ramai, segala hal yang Clara tangani tak ada yang beres. Entah menggoreng telur ceplok atau ikan, Clara akan berteriak heboh tatkala lengan mulusnya terciprati letupan minyak dari wajan. Untung saja Nyonya Kirana sosok yang sabar. Jadi, ia akan membantu Clara sekalipun gadis itu hanya bisa merepotkan.

Setelah melewati kerusuhan demi kerusuhan di dapur, akhirnya Clara bisa memamerkan telur ceplok buatannya ke atas meja makan. Sekalipun dari penampilan sangat tidak meyakinkan, tetapi rasanya tidak seburuk itu.

Gavin dan Tuan Hendra yang baru masuk ke ruang makan, perhatiannya langsung teralihkan pada telur ceplok buatan Clara. Dua orang dengan gender sama itu menyipitkan mata, menebak siapa tersangka dibalik makanan bervisual meragukan itu.

"Selamat pagi semua! Selamat menikmati sarapan spesial buatan Peri Cantik Clara," ujar Clara yang baru memasuki ruang makan setelah mandi dan berdandan.

Tuan Hendra menoleh, memandang Clara yang duduk di kursi samping. Pria itu mendengus, seolah mencium aroma mencurigakan. "Tumben udah mandi. Biasanya kalo hari libur, jam segini masih ileran."

"Oh ya jelas udah mandi dan dandan cantik. Karena hari ini, aku mau jalan sama Dewa," ungkap Clara tanpa ragu.

"Bukannya Dewa lagi di sekolah buat ngikutin pelajaran tambahan? Dia 'kan murid dari kelas unggulan. Mana ada hari libur." Gavin menyahut sembari mengambil satu centong nasi.

"Hari ini Dewa minta izin buat nggak ikut. Lagian, tanpa ikut pelajaran tambahan, Dewa udah pinter, kok," balas Clara yang terdengar membela Dewa.

"Udah! Pagi-pagi jangan ribut! Ayo sarapan!" Nyonya Kirana yang baru datang langsung menengahi. Dengan cekatan, wanita itu mengambilkan nasi untuk sang suami.

Clara makan dengan lahap dan cepat. Ia harus cepat sebelum Dewa menjemput. Setelah menghabiskan sarapan, Clara beranjak berdiri. Tak lupa, ia membawa piringnya ke dapur untuk dicuci. Selesai mencuci piring, gadis itu keluar dari dapur dengan sebuah kotak makan di tangan.

"Pa, Ma, aku pergi dulu!" pamit Clara sembari berjalan.

"Ra, lo nggak pamitan sama gue juga?" tanya Gavin setengah berteriak, karena Clara sudah berada di ambang pintu keluar.

"Enggak! Lo nggak dianggep!" Clara membalas dengan ikut berteriak dari pintu.

Sebelum sampai di pintu gerbang, Clara berkaca dulu untuk memastikan dandanannya sudah sempurna. Ia membenarkan poninya yang agak berantakan. Tak lupa, gadis itu juga membenarkan posisi jepit rambutnya.

"Gila! Cantik banget gue!" kata Clara, memuji dirinya.

Beberapa saat kemudian, terlihat Dewa sudah datang dengan sepeda. Clara segera menghampiri Dewa dengan memasang wajah ceria dan penuh semangat.

"Yuk!" ajak Clara seraya duduk di sepeda Dewa.

Dewa mulai mengayuh sepeda. Meski ia berusaha memasang wajah ceria, tetapi hatinya tengah berpikir untuk merangkai kata demi kata. Hari ini adalah kesempatan terakhirnya. Ia tak boleh menunda lagi. Semakin ditunda, dampaknya akan semakin menyakitkan.

"Wa, lo bilang kalo hari ini, lo bakal nurutin semua keinginan gue. Kalo gitu, sekarang gue boleh minta cium, dong?" Clara mulai bertingkah.

"Nih!"

Tak seperti biasanya, Dewa malah menyodorkan wajahnya pada Clara. Hal itu membuat Clara terkekeh. Ia hanya berniat menggoda Dewa, tetapi Dewa malah menanggapi dengan serius.

***

Dewa mengambil foto Clara yang sedang membeli es krim. Sebelum mengucapkan kata perpisahan pada sang kekasih, pemuda itu ingin mengabadikan momen-momen manis bersama. Meski Dewa tahu perpisahan ini akan menyakiti Clara, tetapi ia tak punya pilihan lain. Sesuai dengan apa yang disepakati, Dewa harus pergi tanpa meninggalkan apapun. Bahkan perasaanya pada Clara. Bahkan mungkin, ia juga harus meninggalkan identitasnya sebagai Dewananda Pradipta.

Rahasia Kita [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang