23. Boneka untuk Dipamerkan

78 4 2
                                    

Angin malam yang dingin membelai lembut rambut Rendra. Pemuda itu baru turun dari taksi. Kakinya berjalan memasuki pintu gerbang megah. Dulu, Rendra pikir dengan tinggal di rumah megah dan indah, hidupnya akan ikut indah juga. Namun, kenyataan memang tak seindah ekspektasi. Faktanya, rumah besar itu kini bak neraka bagi Rendra.

Rendra berhenti di depan pintu dengan perasaan ragu. Tangannya sempat meraih gagang pintu. Akan tetapi, ia lepaskan lagi. Ketika pintu terbuka, Rendra harus menghadapi kepahitan dan ketakutan. Sekuat apapun Rendra menahannya, tetap saja rasanya selalu menyesakkan dada.

Rendra menelan ludah, mempersiapkan telinga dan mentalnya. Tak mudah bertahan hidup di tengah keluarga tersebut. Namun, Rendra sudah menahannya lebih dari sepuluh tahun. Rendra pikir, kali ini ia juga pasti bisa.

Setelah meyakinkan diri beberapa saat, pemuda berbibir mungil itu kembali memegang gagang pintu. Dibukanya pintu rumah besar tersebut. Kemudian, berjalan memasukinya dengan santai.

“Dari mana aja kamu?” tanya seseorang menyambut Rendra.

Rendra menghentikan langkah. Ia mendongakkan kepala, memandang sang ibu. Bibirnya perlahan tersenyum. “Aku habis dari panti asuhan, Ma.”

Sang ibu, Nyonya Shinta, mendekat pada Rendra. Matanya menatap tajam sang putra layaknya harimau yang hendak menerkam mangsa. Kedatangan Rendra memang sudah ditunggu sedari tadi. Ia bahkan telah menyiapkan berbagai kata untuk meluapkan kekesalan dan kekecewaannya atas sikap Rendra.

“Kenapa kamu pergi gitu aja? Nggak pamitan sama yang punya acara dan nggak pamitan sama Mama atau Papa! Kamu ini tahu sopan santun, nggak, sih?” Nyonya Shinta meninggikan suara.

“Maaf, Ma!” balas Rendra seraya menunduk.

“Makin lama, kamu makin susah diatur. Udah nggak bisa dapet peringkat satu, tapi bukannya nurut malah jadi pembangkang. Kadang Mama nyesel udah ngadopsi kamu,” oceh Nyonya Shinta dengan suara lantang, membelah ruang tamu.

Hati Rendra seperti diiris mendengar kalimat terakhir dari ocehan Nyonya Shinta. Entah mengapa, wanita itu selalu mengatakan hal demikian setiap kesal pada Rendra. Rendra jadi berpikir, bahwa kedua orang tuanya mengadopsi dirinya hanya untuk dijadikan boneka yang bisa dipamerkan.

“Mama sama Papa berusaha ngenalin kamu sama anak jaksa wilayah biar kamu punya koneksi. Biar di masa depan, jalan kamu bisa mulus. Kamu paham, nggak?” tutur Nyonya Shinta seraya duduk di sofa. Ia memijat keningnya yang berdenyut nyeri, memikirkan sikap Rendra yang membuatnya pusing.

Beberapa saat kemudian, sosok pria memasuki ruang tamu dengan secangkir kopi di tangan. Pria yang bernama lengkap Rony Hermanto tersebut mendekat pada Nyonya Shinta dan meletakkan cangkir kopi ke atas meja. Lalu, melirik Rendra sembari menggerakkan kepala, seolah memberi kode agar Rendra lekas masuk kamar. Rendra yang paham langsung mengangguk. Selanjutnya, pemuda tampan itu berjalan naik tangga menuju kamar.

Sesampainya di kamar, Rendra melepas jas hitam yang melekat pada tubuhnya. Dilemparnya benda mahal itu ke atas ranjang. Rendra mengambil buku dan pulpen dari laci. Dicoret-coretnya lembar demi lembar buku tersebut.

“Kenapa kalian ngadopsi gue kalo terpaksa? Gue nggak maksa kalian buat mungut gue! Gue nggak pernah minta kalian bawa gue ke neraka ini!” bisik Rendra bersamaan dengan gerakan cepat tangannya mencoret kertas hingga berlubang.

***

Papan pengumuman di depan gedung utama SMA Pilar Nusantara ramai oleh para murid yang berkerumun. Mereka sedang melihat hasil evaluasi bulanan yang ditempel di sana. Semua terpampang jelas dari yang mendapat peringkat pertama hingga terakhir. Yang mendapat peringkat pertama mungkin akan bangga, tapi bagaimana dengan yang mendapat peringkat terakhir?

Rahasia Kita [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang