58. Rumput Liar yang Harus Dicabut

75 4 19
                                    

Dewa keluar dari tempat parkir setelah memarkir sepeda. Ia melangkah menyusuri koridor lantai satu sembari membaca buku. Pemandangan seorang Dewananda Pradipta membaca buku sambil berjalan sudah menjadi hal biasa bagi para murid SMA Pilar Nusantara. Memang tak salah, jika beberapa murid menyebut Dewa si gila belajar.

Dari halaman sekolah, sepasang mata memerhatikan Dewa. Bibir merah sosok tersebut tersenyum miring. Sosok Dewa yang membaca sambil berjalan, mengingatkannya pada sang suami saat masih muda. Dari kebiasaan saja, Dewa dan Juan Anggara sudah mirip, seolah Tuhan memang menunjukkan pada dunia, bahwa mereka adalah anak dan ayah.

Wanita itu, Nyonya Zia, memutuskan untuk melihat Dewa lebih dekat dengan menghampirinya. Ia berdiri di dekat tangga menuju lantai dua untuk menghentikan target. Saat sang target semakin dekat, Nyonya Zia bersiap.

“Maaf, Nak!” Nyonya Zia sengaja menghalangi jalan Dewa.

Dewa mengangkat wajah, menatap sosok yang menghalangi jalannya. Matanya langsung membulat, tatkala melihat seorang Fauzia Renita berdiri tepat di depannya. Buku di tangannya sampai terjatuh.

“Ruangan kepala sekolah ada di mana?” tanya Nyonya Zia membuat alasan, supaya terdengar wajar dan kebetulan pertemuannya dengan Dewa.

Dewa tak langsung menjawab. Ia masih terkejut. Tubuhnya seolah membeku beberapa saat. Ini memang bukan kali pertama Dewa bertemu dengan istri dari ayah kandungnya. Tapi entah mengapa, di pertemuan kali ini, Dewa merasa berbeda. Tatapan mata wanita itu seolah menyimpan sesuatu. Memang benar, bahwa seorang yang terlihat tenang, sebenarnya lebih menakutkan.

“Nak!” Nyonya Zia menyentuh pundak Dewa. Refleks, Dewa langsung menyingkirkannya. Kemudian, murid laki-laki itu berjalan cepat menaiki tangga.

Nyonya Zia mengambil buku tebal Dewa yang jatuh tadi. Gen memang tak bisa berbohong. Dari fisik hingga sikap, Dewa benar-benar mirip dengan suaminya. Hal itu membuat Nyonya Zia semakin tak tahan, jika membiarkan Dewa berkeliaran di sekitarnya. Selama 18 tahun, ia berusaha keras menjaga keutuhan keluarganya. Berbagai cara dilakukan, agar ia tak kehilangan sang suami.

“Haruskah kucabut rumput liar yang akan mengganggu keindahan tamanku?” bisik Nyonya Zia sembari meremas buku di tangannya.

Sebenarnya niat Nyonya Zia datang ke sekolah adalah untuk memastikan pekerjaan orangnya. Seperti yang diperintahkan, orang suruhannya hanya melukai Dewa sebagai peringatan. Ya, peringatan bahwa apa yang terjadi 18 tahun lalu akan terulang kembali, jika Dewa dan ibunya tetap berkeliaran di sekitar keluarganya.

Nyonya Zia membalikkan tubuh, berniat untuk pergi. Ia telah bertemu dengan targetnya. Itu sudah cukup. Rencana selanjutnya akan diserahkan pada orang kepercayaannya untuk mengeksekusi. Wanita itu harus cepat, sebelum Rizal mengetahui hubungannya yang sebenarnya dengan Dewa.

Nyonya Zia berjalan menuju mobil yang terparkir di halaman sekolah. Di dalam mobil, sudah ada seseorang yang menunggu. Pria berusia akhir empat puluhan dengan tatto kincir angin di pergelangan tangannya tersebut memerhatikan Dewa dan Nyonya Zia dari dalam mobil. Ketika Nyonya Zia memasuki mobil, lelaki tadi menggeser posisi sedikit menjauh dari kursi kemudi. Ia seolah ingin menjaga jarak dengan Nyonya Zia untuk mengingatkan diri, bahwa ia dan wanita itu tidak sepadan.

“Kirim buku ini ke Rumah Bunga!” titah Nyonya Zia seraya menyerahkan buku milik Dewa pada pria di sampingnya.

Pria yang bernama Irman itu menerimanya. Ia bak robot yang sudah diprogram untuk menjalankan semua perintah Nyonya Zia tanpa mengeluh atau membantah.

“Yang kemarin, baru pembukaan. Selanjutnya, akan sama seperti 18 tahun lalu,” ujar Nyonya Zia dengan tangan mengepal kuat.

***

Rahasia Kita [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang