Dewa turun dari bus dengan tubuh berbalut seragam dan jaket tebal. Wajahnya masih sedikit pucat karena belum sembuh sepenuhnya. Akan tetapi, hari ini ia memaksakan diri untuk pergi ke sekolah. Dengan alasan tak mau ketinggalan materi pelajaran, Dewa memaksa masuk sekolah sekalipun sudah dilarang oleh sang ibu.
Kaki pemuda itu melangkah, memasuki area sekolah. Bersama beberapa murid lain, ia berjalan menuju lantai dua. Ketika melewati kelas 11 IPS 5, matanya melirik jendela kaca kelas tersebut. Kelas masih sepi dan hanya menampakkan beberapa murid yang sibuk mengerjakan PR.
“Bim, entar sepulang sekolah jenguk Rizal, yuk!”
Suara murid laki-laki yang berjalan di belakang Dewa mengalihkan atensi laki-laki berbibir tipis itu. Kakinya yang tadi berjalan pelan, mendadak berhenti. Ia membalikkan tubuh, menatap dua murid laki-laki yang ada di belakangnya.
“Rizal kenapa?” tanya Dewa to the poin.
“Rizal sakit. Kemarin dia pingsan pas main basket,” jawab Bima jujur.
Sementara itu, Mario, murid laki-laki yang bersama Bima, menampakkan ekspresi kaget. Ia tak menyangka jika Dewa peduli pada orang lain. Padahal, Rizal bukan teman sekelas Dewa.
“Gimana keadaannya? Nggak parah, 'kan?” Dewa menatap Bima serius.
“Kemarin kritis. Nggak tahu kalo sekarang,” balas Bima.
Tanpa pikir panjang, Dewa langsung berlari dan turun tangga. Tentu saja aksi Dewa tersebut membuat Bima dan Mario heran. Ternyata Dewa bisa tampak begitu cemas dan khawatir pada orang lain. Padahal, selama ini Dewa selalu bersikap dingin.
“Dewa sama Rizal deket? Kenapa Dewa keliatan khawatir banget?” tanya Mario penasaran.
“Setahu gue nggak deket-deket amat. Tapi ....” Bima menggantung ucapan.
“Tapi mereka berdua ada rasa,” sahut Erlina sembari merangkul pundak Bima dan Mario dari belakang.
“Rasa apaan? Rasa stroberi?” Bima lekas menyingkirkan tangan Erlina dari pundaknya.
“Lo nggak merhatiin cara Dewa natap Rizal? Tatapannya tuh penuh arti. Beda banget sama cara—”
Bima dan Mario segera pergi sebelum mendengar ocehan sesat Erlina. Dua laki-laki itu sudah sangat hafal betapa gilanya Erlina jika sudah membahas hal-hal berbau BL. Jadi, sebelum semakin ngelantur omongannya, lebih baik mereka pergi.
“Woy, gue lagi ngomong!” teriak Erlina heboh.
Sementara itu, Dewa sudah melewati pintu gerbang sekolah. Ia lekas menghentikan taksi yang kebetulan lewat. Beberapa murid yang melihat Dewa tampak heran, karena waktu masuk kelas tinggal 25 menit lagi. Tapi pemuda itu malah pergi dari sekolah.
“Kemana, Nak?” tanya sopir taksi tatkala Dewa duduk di kursi penumpang.
“Rumah sakit umum.” Dewa menjawab seraya memakai sabuk pengaman.
Si sopir melajukan mobil dengan kecepatan normal. Jalanan kota pagi hari sangat ramai, sehingga si sopir tak berani menambah kecepatan. Untung saja, jarak dari sekolah ke rumah sakit tak begitu jauh. Jadi, tak sampai sepuluh menit, taksi yang Dewa tumpangi sudah sampai. Selepas membayar ongkos taksi, Dewa langsung turun dari taksi dan berlari memasuki area rumah sakit.
Pemuda 17 tahun itu menghentikan acara berlarinya ketika berada di depan meja receptionist. Ia menanyakan letak ruang rawat Rizal pada salah satu pegawai rumah sakit. Agar pencariannya tak memakan banyak waktu, Dewa menyebut nama ‘Jaksa Juan’ yang pastinya akan langsung membuat pegawai rumah sakit tahu.
“Anaknya Jaksa Juan dirawat di ruang VIP lantai tiga gedung kedua,” ucap salah satu pegawai yang berada di meja receptionist tersebut.
Dewa kembali berlari menuju tempat yang disebutkan tadi. Napasnya sudah terengah-engah dan wajahnya semakin memucat. Akan tetapi, semua itu seperti tak mempengaruhinya. Ia tahu, bahwa kedatangannya di sana tak diharapkan siapapun. Namun, Dewa peduli pada saudaranya. Selama berada di sekolah, bisa dikatakan mereka cukup dekat dan kerap menghabiskan waktu bersama.
KAMU SEDANG MEMBACA
Rahasia Kita [END]
Teen FictionDewananda Pradipta, pemuda berusia 17 tahun yang sengaja menutup diri dari orang lain. Bukan tanpa alasan, Dewa menjadi sosok yang sangat tertutup. Ia memiliki banyak rahasia yang disembunyikan. Saking tertutupnya, Dewa nyaris tak pernah berbicara d...