65. Pilihan yang Sulit

59 4 24
                                    

Dewa membuka salah satu ruangan di sebuah restoran mewah. Ketika pintu terbuka, pemandangan pertama yang menyita penglihatannya adalah seorang Juan Anggara yang tengah minum teh. Dewa masuk dan menutup pintu ruangan. Kemudian, mendekat pada Tuan Juan. Ia duduk di kursi kosong yang berhadapan dengan sang ayah kandung.

“Ayo, minum teh dulu!” kata Tuan Juan dengan menuangkan secangkir teh panas pada Dewa.

Dewa tak memberikan reaksi yang berarti. Ia hanya menatap pria di hadapannya intens dan memerhatikan gerak-geriknya. Pikiran Dewa masih kalut dan bingung. Apalagi melihat sikap Tuan Juan yang selalu berubah. Kadang sangat baik, kadang malah sebaliknya.

Beginikah sikap seorang ayah yang seharusnya?

Bukankah dia juga layak mendapatkan haknya sebagai anak sekalipun kelahirannya tak diinginkan?

Mengapa dia yang harus mengalah?

Pertanyaan-pertanyaan itu seolah saling bersahutan di benak Dewa. Ia berusaha membenci pria di hadapannya, tetapi rasa benci itu tak bisa maksimal. Aneh. Mungkin perumpamaan ‘darah lebih kental dari air’, memang benar adanya.

“Dewa, maafin Papa!” ucap Tuan Juan, memasang wajah menyesal.

Dewa mengangkat salah satu alis tebalnya. Entah setan mana yang telah merasuki Tuan Juan, sampai-sampai ia minta maaf secara tiba-tiba pada Dewa. Juga, menyebut dirinya ‘Papa’. Selama ini, pria itu seperti tak mau mengakui atau merasa bersalah pada Dewa. Namun, hari ini justru bersikap sebaliknya.

“Apa besok matahari bakalan terbit dari barat?” sindir Dewa.

Tuan Juan tersenyum. Boleh saja Dewa marah padanya. Boleh saja Dewa memakinya, karena tak bisa menjadi ayah yang baik. Akan tetapi, bukan itu inti dari pertemuan ini. Tujuannya masih sama seperti sebelumnya. Hanya saja, kali ini ia mendapat dukungan dari Nyonya Diana, selaku ibunya Dewa.

“Mungkin permintaan maaf Papa kedengaran kayak pura-pura. Tapi itu tulus dari hati Papa,” ungkap Tuan Juan.

Sekali lagi, Dewa merasa ada udang di balik batu. Sikap manis Juan Anggara padanya tentu karena memiliki maksud lain. Mana mungkin pria itu tiba-tiba berubah, seolah otaknya baru di-reset.

“Ayo perbaiki hubungan kita mulai sekarang!” Omongan Tuan Juan masih berputar-putar.

“Kalo kamu bersikap kayak gini cuma buat nyuruh aku ke luar negeri, maaf! Aku nggak bisa. Tolong jangan paksa aku lagi!” jelas Dewa yang sudah mencium kecurigaan.

Dewa beranjak berdiri. Rasanya ia menyesal, karena menuruti permintaan pria itu untuk bertemu. Tak ada yang berubah. Pembicaraan tetap akan berakhir sama, sekalipun diawali dengan pembicaraan berbeda.

“Asal kamu mau ke luar negeri, kamu nggak perlu lagi hidup sebagai anak haram muncikari. Kamu juga nggak perlu sembunyi atau menutup diri dari orang lain karena latar belakang kamu. Papa janji, Papa bakal ngasih kehidupan yang lebih baik buat kamu di masa depan!” Tuan Juan kembali berusaha membujuk sang putra.

Dewa yang sudah membalikkan badan, hanya bisa tersenyum getir mendengar perkataan ayahnya. Ia memang sudah muak dengan kehidupannya. Selalu merasa takut dan khawatir jikalau ada orang lain mengetahui latar belakangnya.

“Apa nanti kamu bakal ngakuin aku sebagai anak kamu?” tanya Dewa yang kini menatap Tuan Juan.

Tuan Juan terdiam. Mengiyakan hal itu bisa menjadi bumerang. Selama ini, ia sudah mendapat reputasi baik. Mengakui Dewa sebagai anaknya sama saja dengan menghancurkan reputasi dan masa depannya. Dan tentu saja, menghancurkan keluarga harmonis buatannya dan istrinya yang penuh sandiwara.

“Untuk hal itu, mungkin bisa. Tapi bukan sebagai anak kandung, melainkan anak angkat,” jawab Tuan Juan yang tampak tenang.

Dewa tertawa. Mendengar kata ‘anak angkat’ membuatnya seperti anak yatim piatu yang ditelantarkan. Jelas-jelas kedua orang tuanya masih hidup, tetapi ia dipaksa untuk melupakan fakta tersebut.

Rahasia Kita [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang