Ponsel Nyonya Zia berdering ketika ia sedang membuat adonan kue bersama Maudy. Hari ini, Rizal mengajak Maudy untuk belajar ke rumahnya. Akan tetapi, kata ‘belajar’ sepertinya hanya dijadikan alasan. Nyatanya, saat sampai di sana, Maudy malah diajak ibunya Rizal membuat kue.
“Tan, HP-nya bunyi, tuh,” kata Maudy seraya membentuk adonan kue yang dibuat oleh Nyonya Zia menjadi bentuk bintang.
“Iya. Kalo gitu, kamu lanjutin sendiri dulu, ya?” Nyonya Zia membalas sambil menyelesaikan pekerjaannya. Setelah itu, ia mencuci tangan dan segera menjawab panggilan telepon tadi.
Maudy mengangguk seraya tersenyum. Sosok Nyonya Zia yang begitu ramah dan hangat membuatnya nyaman berada di sana. Sekalipun ini kali pertama Maudy datang ke rumah Rizal, tapi Maudy merasa nyaman dengan suasana damai dan harmonis keluarga kecil itu.
“Dy, nyokap gue mana?” tanya Rizal setelah memasuki dapur. Tangan kanannya memegang ponsel.
“Lagi ngangkat telepon. Tadi jalan ke sana,” jawab Maudy dengan menunjuk ke arah perginya Nyonya Zia barusan.
Rizal bergegas melangkah sesuai perkataan Maudy. Laki-laki itu tampak terburu-buru, seolah ada urusan yang tak bisa ditunda. Setelah sampai di ruang santai yang menghadap taman, Rizal melihat sang ibu sedang berbicara serius dengan seseorang via telepon di taman samping rumah. Ekspresi wajah Nyonya Zia yang biasanya ramah dan teduh, kali ini sangat bertolak belakang. Rizal seolah melihat sisi lain dari wanita yang telah melahirkannya itu.
“Ma!” panggil Rizal dari depan pintu.
Mendengar suara sang putra memanggil, Nyonya Zia langsung menoleh. Ia terkejut, sebab tak sadar akan kedatangan Rizal. Wanita cantik itu segera mengakhiri acara mengobrolnya dan menghampiri Rizal.
“Ada apa, Zal?” tanya Nyonya Zia, berusaha mengubah mimik wajahnya.
“Mama barusan ngobrol sama siapa? Kayaknya serius banget,” tanya Rizal penasaran.
“Enggak siapa-siapa, Zal. Cuma orang dari yayasan, kok,” jawab Nyonya Zia sembari meremas ponsel dalam genggaman tangan kanannya.
“Kamu nyariin Mama, ada apa?” Nyonya Zia berusaha mengalihkan pembicaraan.
“Papa nelepon, nanyain soal berkas kasusnya yang ada di meja kerja. Tadi aku udah nyari di sana, tapi nggak ada. Apa Mama taruh di tempat lain?” Rizal menjelaskan.
“Ah, iya. Tadi Mama taruh di rak paling atas. Nanti biar Mama yang ambil. Sekarang, lebih baik kamu bantuin Maudy bentuk adonan kue! Kasihan kalo dibiarin sendiri!” kata Nyonya Zia seraya meraih tangan Rizal dan membawanya ke dapur.
Rizal memerhatikan sang ibu yang sepertinya menyembunyikan sesuatu. Entah apa yang disembunyikan, membuat Rizal penasaran. Ketika kembali ke dapur, Maudy sudah membentuk semua adonan.
“Lho, udah selesai?” tanya Nyonya Zia.
“Udah, Tan. Tinggal dimasukin ke microwave.” Maudy menjawab sambil membawa nampan yang berisi adonan kue berbentuk bintang.
Nyonya Zia mendekat pada Maudy. Direbutnya nampan tersebut. “Biar Tante aja yang masukin ke microwave! Kamu sama Rizal tunggu di ruang tengah sambil lanjutin ngulas soal latihan!”
“Iya, Tan!” balas Maudy.
Rizal dan Maudy berjalan bersama menuju ruang tengah. Hampir setiap ruangan di rumah besar dan mewah itu penuh dengan foto-foto keluarga. Semua foto terlihat manis dan harmonis, membuat siapa saja yang melihatnya iri, termasuk Maudy.
“Zal, itu foto bokap lo pas masih muda, ya?” tanya Maudy, menunjuk foto yang dipajang di dinding ruang tengah.
Rizal mengangguk sebagai jawaban tanpa ragu. Sejujurnya, dari sekian banyak foto yang Maudy lihat, foto itulah yang menyita perhatian Maudy. Menurut Maudy, orang di foto tersebut terlihat mirip Dewa.
KAMU SEDANG MEMBACA
Rahasia Kita [END]
Teen FictionDewananda Pradipta, pemuda berusia 17 tahun yang sengaja menutup diri dari orang lain. Bukan tanpa alasan, Dewa menjadi sosok yang sangat tertutup. Ia memiliki banyak rahasia yang disembunyikan. Saking tertutupnya, Dewa nyaris tak pernah berbicara d...