67. Cinta dan Obsesi

72 4 4
                                    

Rizal melahap makanan dengan cepat. Setelah mengeluarkan unek-unek dalam hati, laki-laki itu bukannya merasa lega tapi malah merasa bersalah. Ia yakin, Dewa pasti sakit hati mendengar perkataannya. Rizal sendiri tak paham, mengapa ia mengajak Dewa bertemu, kalau hanya untuk menyakiti. Saat ini, pikirannya semakin kacau.

“Sial! Kenapa gue harus ngomong sekasar itu sama Dewa?” bisiknya.

Rizal meminum segelas teh hangat yang bertengger di atas meja hingga menyisakan setengah. Kemudian, ia beranjak berdiri menuju kasir. Setelah membayar makanan dan minuman, pemuda berkulit putih itu berlari keluar kafe. Ia melihat area sekitar, mencari keberadaan orang yang bertemu dengannya tadi. Terhitung sekitar sepuluh menit lalu, Dewa keluar dari kafe. Jika hanya berjalan, seharusnya belum terlalu jauh.

Di seberang jalan, Rizal melihat Dewa duduk di halte seorang diri. Rizal segera menyeberang. Akan tetapi, mendadak ia mundur dan kembali ke tepi jalan.

“Kenapa gue harus minta maaf? Gue tadi cuma ngomong apa adanya.” Rizal bermonolog.

Ia membalikkan badan, berniat pergi dari sana. Baru saja berjalan tiga langkah, tiba-tiba terdengar suara teriakan seseorang dari seberang jalan. Dengan cepat, Rizal menoleh ke seberang jalan yang sudah ramai oleh kerumunan banyak orang.

“Nggak mungkin Dewa, 'kan?”

Rizal jadi panik sendiri. Ia bersama beberapa orang menyeberang untuk melihat apa yang dikerumuni orang-orang tadi. Laki-laki itu membelah kerumunan dengan tubuh gemetar dan pikiran buruk tentang Dewa. Setelah melihat orang yang pingsan, Rizal baru merasa lega, sebab orang itu bukan Dewa.

Kini, Rizal berusaha keluar dari kerumunan sekalipun agak sulit. Hingga ada tangan seseorang yang mendadak menggenggam tangannya dan menariknya keluar dari sana.

“Lo nggak apa-apa?” tanya orang yang menolong Rizal.

Rizal memandang wajah sosok di hadapannya yang ternyata adalah Dewa. “Nggak apa-apa,” balasnya.

Dewa menatap Rizal lekat, membuat Rizal bingung sendiri. Di balik ucapan kasarnya, sebenarnya Rizal tak sepenuhnya membenci Dewa. Ya, ibunya memang sangat membenci Dewa, tetapi tidak dengan Rizal.

“Kenapa lo liatin gue kayak gitu?” Rizal bertanya dengan nada ketus.

Dewa tersenyum miring. Lalu, berjalan meninggalkan Rizal. Sementara Rizal masih berdiri di tempatnya dengan memandang punggung Dewa. Jauh di lubuk hatinya yang paling dalam, sebenarnya Rizal tak membenci Dewa.

“Kayaknya gue sama lo emang ditakdirkan buat jadi saudara. Tapi gue masih butuh waktu buat nerima lo.” Rizal tersenyum.

***

Clara memasuki area sekolah dengan menenteng dua gelas teh susu di tangan. Setelah turun dari motor Gavin, Clara langsung membeli minuman dari kedai depan sekolah. Kebetulan, hari ini kedai tersebut sedang ada promosi beli satu gratis satu untuk pasangan. Tentunya Clara tak mau ketinggalan. Ia begitu antusias membeli minuman tersebut untuk diberikan pada Dewa.

“Ra, lo beli ini dimana?” tanya Tata menghampiri Clara.

“Di kedai depan. Lagi ada promosi beli satu gratis satu buat pasangan,” jawab Clara.

“Woah, tumbenan ada promosi. Gue mau beli juga, ah.” Tata dengan penuh semangat berlari keluar area sekolah.

Beberapa saat kemudian, Gavin mencegat Clara. Tanpa basa-basi, pemuda itu menyambar salah satu minuman di tangan Clara. Sayangnya, Clara lekas merebut kembali minumannya.

“Beli sendiri!” sungut Clara.

“Lo pelit banget sama gue. Gue udah jadi sopir lo tiap hari, masa minuman doang nggak lo kasih.” Gavin berkilah.

Rahasia Kita [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang