21. Terpesona

94 3 44
                                    

Dewa memasukkan buku-buku tebal ke dalam tas. Peserta bimbel lain sudah keluar kelas. Hanya tersisa Dewa dan tiga murid perempuan yang masih sibuk memasukkan buku dan alat tulis mereka. Setelah memasukkan semua bukunya, Dewa beranjak berdiri. Saat itu juga, ponselnya bergetar. Diambilnya benda tersebut dari saku celana. Terlihat sebuah pesan datang dari Clara. Selain pesan, ada juga sebuah foto yang dilampirkan.

[Dapet ucapan terima kasih dari Rizal sama Bima.]

Dewa memandang foto yang dikirim Clara. Di foto tersebut, terlihat Rizal, Clara, Bima, Maudy, dan Erlina tertawa bahagia. Dewa tersenyum dengan perasaan lega. Walau ia tak ikut andil, setidaknya Clara menyelesaikan tugasnya dengan baik. Clara memang menyebalkan, tapi kali ini Clara membantu Dewa untuk menolong Rizal.

Dewa kembali mengantongi ponsel. Kakinya melangkah keluar kelas dengan wajah yang sedikit berbeda. Selama ini, Dewa tak pernah mau peduli dengan masalah orang lain. Akan tetapi, sepertinya hal itu tak berlaku jika menyangkut sang kakak. Dewa tahu, bahwa Tuan Juan bolak-balik ke Singapura beberapa tahun terakhir karena mengurus Rizal. Dewa memang cukup tahu seluk-beluk keluarga Juan Anggara, sekalipun pria itu mungkin saja tak mengenalnya.

Sesampainya keluar dari gedung bimbel, Dewa disambut oleh Clara dan Rizal. Dua orang yang masih mengenakan seragam itu melambaikan tangan padanya. Dewa juga melihat sepedanya bertengger di sana.

“Dewa!” panggil Clara yang kini berlari menghampiri Dewa.

“Lo ngapain ke sini?” tanya Dewa ketus.

“Masih nanya. Udah jelas-jelas gue ke sini buat jemput lo,” balas Clara.

Dewa kembali berjalan. Kali ini, langkahnya lebih cepat. Clara langsung mengikuti di belakang. Clara ibarat anak kucing yang mengikuti sang induk. Dewa seperti tak bisa lepas dari cengkeraman gadis itu.

Saat Dewa sampai di tempat Rizal, ekspresinya seketika berubah. Sama sekali tidak jutek seperti tadi.

“Sepeda lo udah diperbaiki. Kalo masih ada yang kurang, lo bilang aja! Terus, soal Gery sama Damar, thanks banget, ya! Berkat rekaman dari lo, gue sama Bima nggak jadi mati berdiri di aula.” Rizal terkikih.

“Iya,” balas Dewa singkat, diiringi senyuman.

“Kapan-kapan, gue traktir makan. Kalo gitu, gue duluan, ya!” pamit Rizal dengan berlari menuju sebuah mobil mewah yang berhenti di tepi jalan.

Dewa melihat Rizal hingga mobil yang ditumpangi melaju. Alangkah indahnya jika Dewa hidup sebagai anggota keluarga Juan Anggara. Hidup berkecukupan, berstatus sebagai putra dari salah satu jaksa terbaik, hidup bahagia dan penuh dengan keharmonisan. Pikiran tersebut selalu membuat Dewa membenci hidupnya.

Dewa menaiki sepedanya. Saat hendak mengayuh, kayuhannya terasa berat. Ia pun menoleh dan mendapati Clara memegang bagian belakang sepeda.

“Lo mau kemana? Apa gue nggak keliatan?” Clara menyipitkan mata.

Dewa menghela napas. Ia baru saja lupa, bahwa hidupnya tak bisa tenang lagi. Ya, ada Clara yang kapan saja siap mengganggunya. Bahkan saat berada di luar sekolah seperti saat ini.

“Apalagi?” tanya Dewa kesal.

Clara berkedip seraya menampakkan wajah imut. Melihat ekspresi wajah Clara sungguh harus membuat Dewa waspada.

***

Dewa melipat tangan di dada, menahan rasa kesal yang membuncah. Waktunya kembali terbuang sia-sia hanya karena menuruti permintaan Clara. Sepulang bimbel, seharusnya ia bisa belajar atau mengulas beberapa soal. Namun, apa yang dilakukannya saat ini sama sekali tak berfaedah. Hanya duduk di samping Clara sambil melihat Clara makan burger.

Rahasia Kita [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang