[Burger dua porsi. Gue tunggu di taman kota!]
Dewa menghela napas setelah membaca pesan singkat dari Clara. Ia baru keluar dari tempat bimbel, tapi sudah disambut oleh pesan menyebalkan. Sialnya, Dewa tak bisa mengabaikan pesan tersebut. Ah, si gila Clara bisa mengamuk dan berbuat nekad jika Dewa tak menuruti perintahnya.
Dewa melangkahkan kaki menuju jalan raya. Ketika melihat sebuah taksi lewat, Dewa segera menghentikan. Ia harus cepat, karena masih banyak kegiatan yang menantinya setelah meladeni Clara. Pemuda itu menyuruh sopir taksi melajukan kendaraan roda empat yang ditumpangi menuju restoran burger terdekat.
Tak butuh waktu lama bagi Dewa untuk sampai ke salah satu restoran burger terkenal. Setelah membayar ongkos taksi, Dewa turun dan berjalan memasuki restoran. Bersama dengan beberapa pembeli lain, Dewa menunggu giliran untuk memesan. Sebenarnya, Dewa sangat malas jika harus mengantre. Lebih baik ia makan makanan lain daripada harus mengantre. Sayangnya, laki-laki berbibir tipis itu tak berada di posisi yang bisa memilih.
Untuk mengisi waktu luang, Dewa bermain gim di ponsel. Dengan begitu, ia tak akan merasa bosan.
“Dewa!”
Suara seseorang yang baru datang membuat Dewa menghentikan acara bermain gimnya. Pemuda berwajah tirus itu mendongakkan kepala dan mendapati Rizal berdiri di dekatnya.
“Kebetulan banget bisa ketemu di sini.” Rizal tersenyum ramah seperti biasa.
“Iya,” balas Dewa sambil melirik sosok pria yang tak asing berdiri di dekat pintu masuk.
“Oh iya, kemarin sepeda lo gue bawa ke bengkel. Mungkin besok udah selesai,” ungkap Rizal.
“Sorry, ya! Gara-gara gue sama Bima, lo harus berurusan sama Gery dan Damar,” sesal Rizal, merasa bersalah pada Dewa.
“Nggak apa-apa. Santai aja!” pungkas Dewa yang berusaha menghindar dari tatapan mata Rizal.
Tak lama berselang, tiba giliran Dewa untuk memesan. Sesuai dengan yang diperintahkan Clara, Dewa memesan dua porsi burger. Dewa sendiri tak begitu suka pada makanan cepat saji itu dan tak ada keinginan untuk memakannya.
Setelah mendapatkan makanannya, Dewa melangkahkan kaki keluar dari area restoran. “Zal, gue duluan!” pamit Dewa.
Saat melewati ayahnya Rizal yang menunggu di dekat pintu masuk, Dewa sedikit melirik. Hatinya terasa sakit, karena hingga detik ini, sosok ayah yang ada di dekatnya tak bisa dipanggil ayah. Bibir tipis Dewa sangat ingin memanggilnya ayah, walau sekali seumur hidup.
“Pa, Papa yang ekstra keju, 'kan?” teriak Rizal.
“Iya, Nak!” balas pria tersebut.
Dewa bisa melihat betapa dekatnya sang ayah dengan Rizal. Jika saja ia menggantikan posisi Rizal, akankah ia juga dekat dengannya? Entahlah. Dewa sendiri tak bisa menjamin.
“Gue mikirin apa, coba?” gumam Dewa dengan mengusap kasar matanya yang mulai berair.
Kaki pemuda itu melangkah dengan cepat keluar dari area restoran. Setelah berada di luar, rasanya lebih lega. Sebenarnya, Dewa masih ingin melihat sang ayah lagi. Namun, ia mencoba menahan keinginannya. Dia tak boleh bersikap mencurigakan agar identitasnya tetap aman hingga lulus SMA.
Dewa memeriksa ponselnya untuk memastikan tak ada pesan tambahan yang Clara kirim. Ternyata memang tak ada pesan masuk. Itu berarti, Dewa bisa langsung ke taman kota untuk melaksanakan tugasnya. Untung saja, jarak restoran dan taman kota tak jauh. Jadi, Dewa bisa menempuhnya dengan jalan kaki.
Tak sampai lima menit, Dewa sudah sampai ke tempat tujuan. Taman kota ketika malam selalu ramai oleh pengunjung. Entah itu hanya jalan-jalan atau sekadar membeli jajanan kaki lima di sekitar. Saat akhir pekan, suasana taman kota jauh lebih ramai dengan beberapa kegiatan komunitas anak-anak muda.
KAMU SEDANG MEMBACA
Rahasia Kita [END]
Teen FictionDewananda Pradipta, pemuda berusia 17 tahun yang sengaja menutup diri dari orang lain. Bukan tanpa alasan, Dewa menjadi sosok yang sangat tertutup. Ia memiliki banyak rahasia yang disembunyikan. Saking tertutupnya, Dewa nyaris tak pernah berbicara d...