12. Penguntit

110 3 42
                                    

Clara, Gavin, dan Tuan Juan keluar dari ruang kepala sekolah. Setelah berdebat dengan ibunya Tristan beberapa saat, akhirnya kedua belah pihak sepakat untuk berdamai dan menyelesaikan secara kekeluargaan. Tristan diharuskan meminta maaf pada Clara. Sebagai hukumannya, Tristan di-skors selama satu pekan untuk merenungkan kesalahan. Sementara Gavin, ia diharuskan meminta maaf pada Tristan dan di-skors selama tiga hari untuk merenungkan kesalahan. Berhubung masa jabatan Gavin sebagai Ketua OSIS tinggal beberapa bulan, pihak sekolah tetap membiarkannya menjalani peran tersebut hingga selesai. Apalagi, ada banyak tugas yang belum diselesaikan oleh Gavin.

Clara melenggang begitu saja tanpa mengatakan sesuatu. Padahal, saat di dalam ruangan tadi, Clara cukup berani membantah setiap perkataan ibunya Tristan yang tak sesuai fakta. Apalagi saat ibunya Tristan berani mengatakan hal buruk tentang Gavin. Clara seperti berdiri di garda paling depan untuk membela sang kakak tiri.

“Itu anak mulai lagi sikap nggak sopannya,” komentar Tuan Juan dengan menggelengkan kepala.

Gavin tersenyum memandang punggung Clara yang semakin menjauh. Ia sempat berpikir, bahwa Clara benar-benar membencinya dan akan membiarkannya begitu saja. Tanpa diduga, Clara malah membawa Tuan Juan untuk datang ke sekolah. Bahkan Clara sampai datang ke kantor ayahnya untuk memberitahu apa yang terjadi.

“Kalo ada sesuatu, cerita aja sama Papa! Nggak usah sungkan! Kita 'kan keluarga,” ujar Tuan Juan dengan memandang lekat sang putra.

“Iya, Pa. Maaf, karena udah bikin malu dan ngerepotin Papa!” Gavin menunduk penuh penyesalan.

Tuan Juan menepuk pundak Gavin sembari tersenyum. Senyuman itu seolah mengatakan, bahwa tidak apa-apa sesekali merepotkannya, karena usia belasan memang kerap melakukan kesalahan.

Sejak dulu, Tuan Juan ingin memiliki anak laki-laki. Kedatangan Gavin dalam kehidupannya seperti jawaban dari Tuhan atas keinginannya. Ya, walaupun Gavin bukan anak kandungnya. Tapi ia yakin, kasih sayang dan perhatian yang diberikannya untuk Gavin tak akan menjadi bumerang.

“Kalo gitu, Papa anterin kamu pulang, ya?” tawar Tuan Juan.

“Nggak usah, Pa! Mendingan Papa balik lagi aja ke kantor polisi! Aku mau ketemu sama anak-anak OSIS buat ngebahas beberapa hal sebelum pulang,” tolak Gavin.

“Ya udah, kalo gitu Papa pergi dulu!” pamit Tuan Juan seraya berjalan meninggalkan Gavin.

“Iya. Hati-hati, Pa!” balas Gavin.

***

Clara memakan makan siangnya dengan lahap. Seolah tak terjadi apa-apa, gadis itu bersikap seperti biasa. Padahal, hari ini ia dan Gavin menjadi trending topik di sekolah. Kini, orang-orang di sekolah tahu, bahwa Clara dan Gavin adalah saudara tiri. Ada banyak spekulasi yang menyertai ketika kabar tersebut beredar. Beberapa orang menganggap, bahwa Clara dan Gavin putus demi orang tua mereka.

Maudy menyenggol siku Rendra, seolah menyuruh Rendra untuk memerhatikan sikap Clara yang cuek pada keadaan sekitar. Namun, tak ada respon dari Rendra. Pemuda itu sibuk menghabiskan makanan, karena harus mengejar waktu belajar.

“Ra, lo sama Kak Gavin sekarang udah damai, 'kan?” celetuk Maudy.

“Siapa juga yang mau damai sama dia! Gue ngasih tahu bokap gue karena cocot nyokapnya Tristan nggak akan berhenti ngoceh kalo nggak ditodong pistol,” balas Clara, yang kini menyedot es jeruk.

“Anjir, cocot.” Maudy terkikih.

“Kalo masih sayang, bilang dong! Jangan dipendem terus!” sahut Rendra, ikut menggoda Clara.

“Lo jangan ikut-ikutan, ya, Ren!” Clara melempar kripik kentang pada Rendra.

Rendra melirik arloji mahalnya. Sudah saatnya ia kembali ke kelas untuk mengulas beberapa soal. Ujian semester ganjil tinggal beberapa bulan lagi. Rendra harus bergegas. Kali ini, ia harus bisa mengalahkan Dewa. Tekadnya harus kuat, agar orang tuanya tak terus meremehkan dirinya.

Rahasia Kita [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang