“Lo nolak Jerino?” teriak Erlina yang langsung membuat murid lain di kelas mengalihkan pandangan pada geng gibahnya.
Sudah Clara duga, hal semacam ini akan terjadi. Memang tak seharusnya ia menceritakan sesuatu pada gadis super cerewet itu. Mulut Erlina seperti ember bocor yang tak bisa menahan sesuatu. Sangat sulit diajak menjaga rahasia.
“Padahal Jerino tuh tipe gue banget. Kenapa malah lo tolak?” tanya Tata pada Clara.
“Ini soal perasaan, Ta! Mana bisa dipaksain. Iya, 'kan, Ra?” sahut Bima seraya menyenggol siku Clara.
Clara mengangguk, memberi respons pada sahutan Bima. Mau sesempurna apapun seseorang, jika hati tidak memberi kesempatan, mana bisa dipaksa. Hati manusia terkadang berbanding terbalik dengan logika. Sulit dipahami dan dimengerti. Clara sendiri rasanya tak memahami dirinya.
Clara merebahkan kepala ke atas meja. Ia seperti mendapat karma, karena selama ini selalu mempermainkan perasaan orang lain. Kini, murid perempuan itu seolah sedang dipermainkan oleh seorang pemuda dingin bak gunung es.
“Ra, makin hari, Maudy sama Rizal makin lengket, ya?” ujar Erlina sembari ikut merebahkan kepala di meja yang sama dengan Clara.
Mendengar ucapan Erlina, kini Clara memandang Maudy dan Rizal yang tengah belajar bersama di tempat duduknya dan Maudy. Perlu diketahui, bahwa Clara sampai mengungsi ke tempat duduk Tata dan Erlina, karena tempat duduknya digunakan mengulas beberapa soal latihan oleh Rizal dan Maudy. Tentunya Clara tak ingin dekat-dekat, karena mendengar suara Rizal menjelaskan beberapa rumus matematika pada Maudy, membuat Clara semakin pusing.
“Itu namanya sambil menyelam nangkep ikan, Er!” tambah Bima, ikut bergabung.
“Yang bener, sambil menyelam minum air, Bim,” balas Erlina dengan suara keras.
“Guys, kata Pak Danu, kita disuruh ke lapangan buat pelajaran penjasorkes,” teriak Tata dengan suara cemprengnya setelah membaca pesan singkat yang dikirim oleh sang guru olahraga.
Seluruh kelas tampak bersemangat. Semua mengeluarkan seragam olahraganya dengan antusias. Clara lekas kembali ke tempat duduknya untuk mengambil seragam olahraga. Sementara Rizal dan Maudy mulai membereskan buku-bukunya.
“Zal, kata Pak Danu, lo nggak usah ikut ke lapangan.” Tata menghampiri Rizal. Nyaris saja ia lupa menyampaikan pesan Pak Danu yang berada di barisan paling bawah.
Rizal hanya bisa menghela napas. Lagi, ia akan berdiam di kelas ketika jam pelajaran penjasorkes. Membosankan dan menjengkelkan. Namun, Rizal tak bisa membangkang, sebab semua itu dilakukan demi kebaikannya. Tentu saja pemuda itu tak ingin membuat kedua orang tuanya khawatir lagi.
“Iya.” Rizal membalas seraya melangkah menuju tempat duduknya.
Clara dan Maudy memandang Rizal, seolah tahu rasa kecewa yang coba Rizal sembunyikan. Sayangnya, tak ada yang bisa mereka lakukan untuk membantu teman sekelasnya itu.
“Dy, yuk!" Clara meraih lengan Maudy untuk mengajaknya berganti pakaian di toilet.
Maudy dan Clara melangkah keluar kelas bersama beberapa murid perempuan lain. Ketika berada di koridor, mereka bertemu dengan para murid dari kelas 11 IPS 4 yang sudah selesai mengikuti pelajaran penjasorkes di lapangan. Di antara mereka, Clara melihat Yolanda. Dua gadis yang selama ini tak pernah akur itu saling menatap. Jujur saja, sebenarnya Clara masih penasaran dengan hubungan Gavin dan Yolanda. Clara sangat ingin bertanya pada Gavin. Akan tetapi, hal itu akan membuatnya tampak masih memiliki perasaan pada saudara tirinya.
“Ra, tungguin gue, dong!” teriak Erlina sambil berlari menghampiri Clara.
Suara teriakan Erlina membuat Clara mengakhiri acara tatap-tatapannya dengan Yolanda. Clara mengumpat dalam hati, sebab merasa selalu mencintai orang yang salah. Padahal ia berkali-kali bertemu laki-laki baik.
KAMU SEDANG MEMBACA
Rahasia Kita [END]
Teen FictionDewananda Pradipta, pemuda berusia 17 tahun yang sengaja menutup diri dari orang lain. Bukan tanpa alasan, Dewa menjadi sosok yang sangat tertutup. Ia memiliki banyak rahasia yang disembunyikan. Saking tertutupnya, Dewa nyaris tak pernah berbicara d...