66. Pasangan yang Saling Melengkapi

66 4 8
                                    

Rendra keluar dari ruang rawat bersama Gavin dan Maudy. Setelah satu pekan mendekam di ruang rawat rumah sakit yang membosankan, akhirnya Rendra sudah diperbolehkan pulang. Rasanya begitu lega dan nyaman. Namun, kepulangan Rendra masih terasa kurang, sebab Clara belum menampakkan batang hidungnya.

“Clara lama banget,” bisik Rendra.

“Gue udah nge-chat tapi belum dibales. Apa masih antre di toko kue, ya?” tambah Maudy sembari memeriksa ponsel.

“Pasti antrenya sama Dewa.” Gavin menimpali dengan terkekeh.

Rendra melirik Gavin tajam. Sementara Maudy langsung menyenggol siku Gavin. Terkadang, Gavin memang suka memancing. Ya, memancing keributan.

“Ren, kita tunggu di depan aja sambil nunggu nyokap lo ngurus administrasi kepulangan lo!” ajak Maudy, berusaha untuk tak memperkeruh keadaan.

“Kalian duluan aja! Gue mau ke toilet bentar,” balas Rendra.

Gavin dan Maudy mengangguk. Kemudian, berjalan meninggalkan Rendra. Sedangkan Rendra melangkah ke arah berlawanan dari dua sahabatnya tadi. Tangannya menggenggam ponsel dengan perasaan tak karuan. Ia sudah memperingatkan Dewa, tetapi perkataannya beberapa waktu lalu seolah tak digubris. Ingin rasanya Rendra membawa paksa Clara agar menjauh dari Dewa.

“Ada banyak cowok di dunia ini, tapi kenapa harus Dewa yang lo pilih?” Rendra bergumam. Belum sampai ke tempat tujuan, ia berhenti. Dipandangnya halaman rumah sakit yang luas dari lantai dua.

Rendra sangat ingin menelepon Clara. Namun, ia ragu. Ketika bersama Dewa, Clara seperti melupakan orang sekitar. Hal itu membuat rasa tidak suka Rendra pada Dewa, jadi semakin besar. Bisa saja Rendra memberitahu pada dunia, siapa Dewa sebenarnya untuk menyulitkannya. Akan tetapi, hal itu juga akan berpengaruh pada Clara, karena Clara sangat peduli pada Dewa.

“Kamu tadi habis ditegur sama Bu Shinta, ya?” ucap seorang perawat yang kebetulan lewat di belakang Rendra pada teman sesama perawat.

Mendengar nama sang ibu disebut, Rendra menoleh sedikit. Ia penasaran, apa yang hendak dikatakan para perawat itu.

“Iya. Kesal banget rasanya ditegur sama dia. Mentang-mentang jadi direktur, sok-sokan ceramah sana-sini soal cara ngerawat bayi yang bener. Dianya aja nggak becus bikin anak. Makanya sampe ngadopsi anak dari panti asuhan,” balas perawat yang membawa beberapa berkas.

Rendra mengepalkan tangan, mencoba menahan diri. Perkataan perawat barusan cukup menyinggung dan kasar. Sebagai anak adopsi dari wanita yang tengah dibicarakan, tentu Rendra ingin membela ibunya. Walau selama ini Nyonya Shinta cukup ketat dalam mendidiknya, tetapi wanita itu juga menyayanginya layaknya anak sendiri.

Baru saja Rendra hendak angkat bicara, tiba-tiba seseorang datang. “Kalian nganggur? Punya banyak waktu buat gibah? Atau kerjaan kalian masih kurang?”

Sosok wanita yang baru datang mendekat pada dua perawat tadi. Matanya menatap tajam dua perempuan yang baru saja membicarakannya. Dua perawat tersebut lekas mempercepat langkah untuk kembali melanjutkan pekerjaan.

“Katanya mau ke toilet? Kenapa malah diem di sini?” tanya wanita yang tak lain adalah Nyonya Shinta pada Rendra.

Rendra tak menjawab, malah memandang Nyonya Diana lekat. Setelahnya, ia memeluk sang ibu yang diyakininya saat ini sedang berusaha terlihat biasa saja.

“Rendra, apa-apaan kamu? Kenapa kamu—”

“Ma, jangan dengerin perkataan orang lain! Mereka nggak tahu apa-apa tentang Mama!” Rendra memangkas ucapan Nyonya Shinta.

Nyonya Shinta terdiam, mencoba menahan air mata. Selama ini, ada banyak orang yang selalu membicarakannya. Mereka kerap mengatai Nyonya Shinta dengan sebutan mandul, tidak subur, dan lain sebagainya. Namun, Nyonya Shinta hanya diam, sebab tak bisa membantah. Selalu bersikap tak peduli adalah caranya untuk tetap bertahan. Meski terkadang, ia menangis seorang diri.

Rahasia Kita [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang