64. Keadaan yang Menyudutkan Dewa

62 4 16
                                    

Seorang anak laki-laki berusia sepuluh tahunan duduk melamun di taman belakang sebuah rumah mewah. Wajahnya terlihat murung. Baru pindah beberapa hari ke rumah majikan ayahnya, anak yang bernama Irman tersebut setiap harinya hanya diam di taman belakang menunggu sang ayah selesai bekerja. Ia seolah tak memiliki semangat apapun semenjak sang ibu meninggal.

“Ayo main!” ucap sosok gadis kecil dengan kedua tangan membawa kincir angin yang terbuat dari kertas.

Anak perempuan itu menyodorkan salah satu kincir angin kertas di tangannya pada Irman dengan tersenyum. “Buat kamu.”

Perlahan, tangan mungil Irman bergerak untuk menerima salah satu kincir angin kertas tadi. Ini adalah kali pertama ada orang yang mengajak Irman berbicara selain ayahnya setelah pindah. Tentu saja hal itu membuat Irman senang dan merasa keberadaannya terlihat.

“Kamu jangan sedih lagi! Mulai hari ini, kita bisa main bareng tiap hari. Aku akan jadi teman kamu,” kata gadis kecil yang bernama lengkap Fauzia Renita.

“Aku buat banyak kincir angin kertas di sana. Ayo kita main!” Zia meraih lengan Irman dan membawanya ke tempat ia membuat kincir angin kertas tadi.

Sejak saat itu, Irman dan Zia jadi dekat. Keduanya kerap menghabiskan waktu bersama sepulang sekolah untuk bermain di taman belakang. Meskipun Irman hanya anak sopir, tapi Zia memperlakukan Irman layaknya teman pada umumnya. Perlahan tapi pasti, benih-benih cinta mulai tumbuh di hati Irman ketika beranjak remaja. Ia selalu berusaha melindungi Zia. Ia juga menuruti semua permintaan perempuan itu. Apapun akan Irman lakukan demi kebahagiaan Zia. Tak peduli seberapa berisikonya.

Beberapa ingatan masa lalu kembali terlintas tatkala Pak Irman memasuki ruang tamu kediaman Tuan Juan dan Nyonya Zia. Tangan kiri Pak Irman menggenggam pergelangan tangan kanannya yang berhiaskan tatto kincir angin. Tatto itu layaknya janji yang dibuatnya sendiri untuk selalu melindungi dan menjaga Nyonya Zia apapun yang terjadi. Rasa cinta dan utang budi menyatu dalam tekad pria berperawakan tinggi tersebut.

“Om Irman mau minum apa?” tanya Rizal ramah.

“Air putih,” jawab Pak Irman, mengalihkan pandangan dari foto keluarga yang terpampang di dinding ruang tamu.

“Kalo gitu, aku ambilin bentar.” Rizal berjalan menuju dapur untuk mengambil air putih.

Pak Irman menatap punggung Rizal yang semakin menjauh. Masih tak bisa Pak Irman lupakan, bagaimana bahagianya Nyonya Zia tatkala mengandung Rizal. Wanita itu tersenyum setiap hari, seolah kebahagiaan ada di depan mata dan tak akan pernah hilang. Sayangnya, semua berubah menjadi seperti pukulan ketika Nyonya Zia mengetahui pengkhianatan sang suami. Ia nyaris depresi dan mengganggu kesehatan bayi dalam kandungannya sehingga lahir prematur.

Tak lama kemudian, Nyonya Zia menghampiri Pak Irman. Ia menampakkan wajah kesal. Ada banyak hal yang membuat wanita itu marah dan jengkel. Salah satunya adalah kedatangan Pak Irman secara tiba-tiba ke rumahnya.

“Kenapa kamu ke sini? Aku udah bilang, kalo ketemu jangan di sini!” kata Nyonya Zia.

“Maaf! Tadi aku cuma kebetulan lewat, tapi tiba-tiba ketemu Rizal.” Pak Irman mencoba menjelaskan, sekalipun ia sedikit berbohong. Yang benar adalah Pak Irman sengaja lewat depan rumah Nyonya Zia untuk sekadar melihat wajah Nyonya Zia dan memastikannya baik-baik saja. Terdengar tak masuk akal, karena sesungguhnya itu bukan kewajibannya.

“Ya udah. Sekarang kamu bisa pergi. Nanti aku chat kalo keadaan udah tenang dan sedikit membaik. Yang pasti, tugas kamu belum selesai selama rumput liar itu belum berhasil disingkirin.” Nyonya Zia mengepalkan tangan, seolah menahan amarahnya. Ia tak boleh meledakkan amarah saat ada Rizal di rumah. Sudah cukup Rizal mengetahui kebenaran tentang anak ayahnya yang lain dan membuatnya merasa dibohongi.

Rahasia Kita [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang