06. Senyuman Palsu Rendra

142 4 30
                                    

Clara memakan choco pie sembari memikirkan sikap Dewa beberapa waktu lalu. Ia yakin, Dewa memiliki sesuatu yang disembunyikan dari orang-orang. Walau terkesan kasar, tapi bibir Dewa gemetaran mengatakan hal itu. Matanya juga menampakkan ketakutan. Semuanya terlihat sangat ganjal.

“Lo lagi mikirin apa?” tanya Rendra dengan meletakkan beberapa minuman dan makanan kecil ke atas meja.

“Dari awal, gue udah bilang, kalo taruhan ini nggak mungkin lo menangin. Mending kita batalin aja!” tambah Rendra.

Clara mengambil satu botol teh yang bertengger di atas meja. Kemudian, menenggaknya. Walau Rendra mengatakan ingin membatalkan taruhan mereka. Tapi, Clara sudah terlanjur penasaran dengan sosok Dewa yang memang terkenal misterius.

“Enggak! Kita udah sepakat,” ucap Clara sembari melempar botol teh kosong ke tempat sampah.

Ketika sudah bertekad, Clara tak bisa dihentikan. Sebenarnya, Rendra menggunakan Clara sebagai uji cobanya akan kemampuan Dewa. Ia ingin tahu, apakah kehadiran Clara di hidup Dewa bisa membuat prestasi akademis Dewa menurun atau tidak.

Rendra melihat sepatu Clara yang talinya tak terikat dengan benar. Pemuda itu bergegas jongkok untuk membenarkan ikatan tali sepatu sang sahabat. Clara menghentikan kegiatan minumnya. Ia tersenyum memandang Rendra yang begitu perhatian padanya.

“Kalo ngikat tali sepatu tuh yang bener, dong! Entar kalo jatuh, gimana?” omel Rendra layaknya emak-emak mengomeli anaknya.

“Kalo jatuh, ya bangun lagi, dong!” balas Clara, diiringi dengan tertawa.

Rendra kembali duduk setelah mengikat tali sepatu Clara. Ia menarik ujung hidung Clara. Seketika Clara berteriak sambil melepaskan tangan Rendra dari hidungnya.

“Sakit tahu, Ren!” kesal Clara.

“Habis ini gue anterin pulang. Habisin dulu makanan sama minumannya!” kata Rendra seraya menyandang tas.

“Gue pulang entar aja. Gue masih mau keliling bentar. Kalo lo mau bimbel, lo berangkat aja!” tutur Clara, masih dengan mengunyah makanannya.

Rendra terdiam sejenak. Melihat kehidupan Clara setelah sang ibu meninggal membuatnya selalu khawatir. Gadis itu kerap telat makan. Bahkan saat berangkat ke sekolah, Clara juga jarang sarapan. Namun, Rendra tak bisa selalu mengontrolnya. Terlebih, jarak rumah mereka cukup jauh. Rendra juga sekarang sibuk mempersiapkan perlombaan matematika.

“Kalo gitu, kita makan dulu! Habis itu, gue anterin lo pulang,” pungkas Rendra.

Clara baru saja akan membantah. Tapi, Rendra terlebih dahulu menyentuh ujung bibir tipis gadis itu, seolah memberi kode, bahwa Clara tak boleh membantahnya.

“Gue nggak nerima penolakan! Ini buat kebaikan lo!” tambah Rendra seraya menarik tangan Clara.

***

Dewa menghentikan laju sepedanya di depan sebuah pintu gerbang yang terbuat dari baja. Sebelum membuka pintu, Dewa menoleh ke kanan dan kiri, memastikan tak ada orang yang dikenalnya melihat ia masuk ke tempat tersebut. Walau telah mengenakan hoodie yang menutupi bagian atas dan belakang kepala. Tapi, pemuda itu tetap khawatir.

Setelah merasa aman, Dewa membuka pintu dan masuk membawa sepedanya dengan cepat. Kemudian, ia menutup pintu dan menguncinya dari dalam. Dewa meletakkan sepeda di tempat teduh yang sudah tersedia. Semua yang ada di sana seolah memang sudah tertata sesuai keinginan Dewa.

Dewa berjalan memasuki bangunan besar yang merupakan tempat tinggalnya. Sebuah bangunan yang dari belakang tampak biasa saja. Namun, sangat megah jika dilihat dari depan. Sayangnya, Dewa lebih memilih untuk keluar masuk lewat pintu belakang.

Rahasia Kita [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang