27. Usia Hanya Sebuah Angka

86 4 6
                                    

Dewananda Pradipta, tagname yang melekat pada seragam seorang murid laki-laki yang kini berjalan memasuki area salah satu sekolah dasar. Wajah polos anak berusia tujuh tahun itu terlihat ceria dan penuh semangat seperti biasa. Pergi ke sekolah menjadi salah satu hal yang Dewa sukai, karena ia bisa bertemu dan bermain dengan teman-temannya. Bahkan hari ini Dewa sengaja membawa banyak mainan agar teman-temannya bisa meminjam.

Sesampainya di halaman sekolah, Dewa bertemu dengan teman sekelasnya. Dewa langsung menghampiri. Namun, tiba-tiba ada wanita muda yang menarik tangan murid laki-laki tadi agar menjauh dari Dewa.

“Ken, inget kata Mama! Jangan deket-deket sama Dewa!” kata wanita yang merupakan ibu dari murid tersebut.

“Ayo, Mama anterin ke kelas!” Wanita tadi menarik tangan sang anak menuju kelas.

Dewa heran dengan sikap wanita tersebut. Biasanya, ia tak keberatan jika Ken bermain dengan Dewa. Tentu saja hal itu membuat Dewa sedih dan bingung. Tak mau ambil pusing, Dewa kini kembali melangkah, melanjutkan perjalanannya ke kelas.

Sepanjang perjalanan menuju kelas, Dewa merasa ada yang berbeda dari biasanya. Ada banyak wali murid yang datang mengantar anak-anak mereka. Bahkan setengah dari para wali murid yang didominasi ibu-ibu muda itu berkumpul di dekat koridor sambil berbisik-bisik dan melirik Dewa sinis. Belum sampai di kelas, Dewa dicegat oleh sang wali kelas.

“Dewa, ikut Ibu ke ruang guru sebentar, yuk!” ajak sang wali kelas.

Dewa mengangguk seraya mengikuti langkah wali kelasnya. Tak lupa, si wali kelas menggandeng tangan mungil Dewa. Setelah sampai di ruang guru, Dewa dan wali kelasnya disambut oleh beberapa ibu-ibu muda dan kepala sekolah.

“Menurut saya, masalah ini tidak perlu melibatkan Dewa. Dewa masih kecil. Dia belum tahu apa-apa,” kata wali kelas Dewa.

“Kami, para wali murid, sudah sepakat untuk membawa anak kami pindah, jika pihak sekolah masih mempertahankan anak muncikari ini sekolah di sini!” ujar perwakilan wali murid.

“Kami nggak mau anak kami terpengaruh sama anak ini!” timpal salah seorang wanita muda yang duduk di kursi paling ujung.

Kepala sekolah hanya bisa menghela napas. Sejak awal penerimaan murid baru, ia sudah menduga hal semacam ini akan terjadi. Ya, sekalipun Dewa tak tahu menahu tentang seluk-beluk pekerjaan sang ibu.

“Tenang! Kita harus tenang untuk mencari solusi! Tujuan kita berkumpul di sini untuk mencari jalan keluar yang baik untuk semua.” Kepala sekolah mencoba menengahi.

“Saya dan wali murid lain memercayai sekolah ini untuk mendidik anak-anak kami karena reputasi sekolah ini yang sangat baik. Tapi, sepertinya dugaan kami salah,” sela wanita berambut keriting dengan tatapan sinis.

“Kami sangat keberatan dengan adanya anak muncikari ini di sini!” tambah wali murid lain.

Wali kelas Dewa tak bisa membiarkan Dewa mendengar lebih banyak. Wanita muda itupun membawa Dewa keluar ruangan. Ketika baru sampai di ambang pintu, langkah sang wali kelas terhenti tatkala seorang wanita berkacamata hitam dengan pakaian berwarna mencolok datang.

“Mama!” panggil Dewa.

Ibunya Dewa, Nyonya Diana, langsung menggendong Dewa dan membawanya kembali untuk berhadapan dengan para wali murid. Jujur, Nyonya Diana sudah muak dengan sikap orang-orang yang berlagak jijik padanya. Padahal, ia yakin, para suami dari wanita-wanita itu pasti pernah datang ke rumah bunga untuk memuaskan nafsu.

“Mulai hari ini, Dewa bukan lagi murid dari sekolah ini! Kalian bisa tenang karena anak-anak berharga kalian nggak akan berteman sama anak muncikari!” ucap Nyonya Diana dengan mata berkaca-kaca di balik kacamata hitamnya.

Rahasia Kita [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang