11. Rasa yang Masih Tertinggal di Hati Clara

103 4 21
                                    

Clara berjalan keluar kelas tanpa Maudy dan Rendra. Walau ada banyak murid lain lalu-lalang di sekitar, tapi Clara enggan bergabung. Bagi Clara, tak ada yang lebih nyaman dari dua sahabatnya itu. Sayangnya, hari ini mereka tak bisa pulang bersama seperti biasanya. Maudy pulang siang tadi, karena perutnya sakit akibat datang bulan. Sedangkan Rendra mengikuti jam pelajaran tambahan atas perintah orang tuanya. Alhasil, Clara harus pulang sendiri.

Saat menuruni tangga, seorang murid perempuan dari kelas 10 menghampiri Clara. Murid tersebut memberikan surat pada Clara.

“Dari Kak Dewa,” ucapnya.

“Dewa?” Clara menerima sepucuk surat itu dengan rasa tak percaya.

Setelah memberikan surat pada Clara, murid perempuan tadi pergi. Clara langsung membuka surat tersebut. Dibacanya tulisan di sana. Selesai membaca, Clara mengernyitkan dahi. Aneh rasanya jika Dewa mengajaknya bertemu di aula, mengingat sikap Dewa beberapa waktu lalu padanya.

“Ini jelas bukan Dewa,” bisik Clara.

Dirobeknya surat yang ada di tangan. Lalu, melemparnya ke tempat sampah terdekat. Clara jadi penasaran, orang gila mana yang ingin menipunya. Clara sempat berpikir, bahwa ini pasti ulah Yolanda. Tapi, Yolanda bukan tipe orang yang akan menipu saat akan berhadapan dengan seseorang. Apalagi dengan cara memberi surat.

“Kayaknya gue harus nemuin orang gila ini. Berani banget dia nipu gue,” kata Clara dengan mempercepat langkah menuju aula.

Sesampainya di aula, Clara masuk dengan hati-hati. Matanya melirik kanan dan kiri. Ia ingin tahu wajah penipu bodoh yang menitipkan surat pada adik kelas. Rasanya, Clara sudah siap mengumpati orang itu.

“Akhirnya lo dateng.”

Suara seseorang membelah kesunyian aula. Clara segera menoleh ke sumber suara berasal. Tampak Tristan berdiri dengan melipat tangan di dada. Tristan mendekat pada Clara, membuat Clara mundur beberapa langkah.

“Tan, kita udah nggak ada hubungan apa-apa lagi!” ucap Clara dengan mengeraskan suara.

“Menurut lo. Tapi, menurut gue enggak,” balas Tristan dengan suara santai, namun penuh penekanan.

“Lo makin deket, gue nggak akan segan buat teriak, bahkan mukul lo,” ancam Clara, berusaha terlihat berani.

Tristan tertawa puas. Dia sangat menyukai ekspresi Clara saat ini. Bersikap seolah berani, padahal sebenarnya sangat ketakutan. Tak banyak yang tahu seperti apa perangai Tristan saat marah dan lepas kendali. Imej Tristan cukup baik, karena ia anggota tim basket sekolah. Akan tetapi, ketika marah dan sakit hati, pemuda 17 tahun itu mampu menyimpan rasa sakitnya dan terus terbayang untuk membalas.

“Berhenti di situ!” teriak Clara.

Tristan tertawa semakin keras. Namun, tak mengindahkan perkataan sang mantan pacar. Terus berjalan, semakin dekat dan dekat. Gerakan tangan Tristan begitu cepat meraih pundak Clara.

“Lepasin gue!” kata Clara, memberontak.

Tristan mendorong tubuh Clara hingga punggung gadis itu menabrak dinding. Mata Tristan menatap Clara bak laser. Sambil mengeratkan gigi-giginya, Tristan menyentuh wajah mulus Clara.

“Dulu, gue suka banget liatin muka lo. Cantik, mulus, manis, dan bening. Sayangnya, muka seindah ini, nggak bisa gue miliki.” Tristan berbicara dengan nada yang santai, tapi terdengar menakutkan.

“Lepasin gue, Berengsek!” teriak Clara seraya menyingkirkan tangan Tristan dari wajahnya. Lalu, didorongnya tubuh Tristan yang lebih tinggi darinya. Clara berusaha lari, tapi kakinya dipegang oleh Tristan dari bawah, membuatnya jatuh ke lantai.

Rahasia Kita [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang