61. Rencana Lain Tuhan

52 3 12
                                    

Clara dan Dewa keluar dari salah satu kedai bebek goreng. Keduanya terlihat bercanda satu sama lain setelah perutnya terisi. Sepertinya pendekatan Clara pada Dewa telah berhasil mencairkan lima puluh persen es di hati Dewa. Sosok Dewa yang jarang tersenyum dan terlihat dingin, kini sering menunjukkan senyuman. Walau kadang senyuman itu berusaha disembunyikan dari Clara.

“Habis ini gue mau ke kafe sama Maudy. Lo ikut sekalian, ya?” ajak Clara.

Dewa melihat arlojinya. Sudah pukul tujuh lebih. Sebelumnya, sang ibu berpesan, agar Dewa segera pulang jika tak ada kegiatan lagi. Dewa tahu, akhir-akhir ini ibunya sangat khawatir dan cemas. Namun, Dewa yakin, ia bisa menjaga diri.

“Gue anterin lo ke kafe. Habis itu, gue pulang,” balas Dewa.

“Ya udah, deh. Gue nggak maksa. Tapi, gue berharap lo bisa akrab sama temen-temen gue, kayak Maudy sama Rendra. Apalagi, lo juga nggak punya temen, 'kan?” tutur Clara.

Dewa mengangguk. Kemudian, berjalan bersama Clara menuju sepedanya. Apa yang Clara katakan tak salah. Dewa juga tahu, bahwa Clara bermaksud baik dengan menyuruhnya mengakrabkan diri pada teman-temannya. Hanya saja, Dewa masih belum siap untuk membuka diri pada orang lain, selain Clara. Ya, mungkin Clara tak mempermasalahkan latar belakangnya. Namun, bagaimana dengan orang lain? Tentunya Dewa masih memiliki kekhawatiran.

“Lo janjian sama Maudy di kafe mana?” tanya Dewa seraya menaiki sepeda.

“Deket, sih. Di kafe ‘Sun and Rise’.” Clara menjawab sambil duduk di depan Dewa.

Dewa mengangguk lagi. Lalu, mengayuh sepeda keluar dari halaman kedai. Dengan kecepatan normal, pemuda berhidung mancung itu mengayuh sepeda menyusuri jalur khusus sepeda.

“Wa, kita jangan putus, ya?” Clara menatap Dewa lekat.

“Bukannya yang biasa mutusin cowok duluan itu elo?” sambut Dewa, malah membalik penuturan Clara.

Clara menghela napas. Faktanya, ia dulu memang seperti itu. Sering mempermainkan perasaan dan memutuskan pacarnya sesuka hati. Namun, kali ini Clara benar-benar serius. Hatinya yang dulu masih terpaut pada Gavin, kini telah menetap pada Dewa.

“Itu 'kan dulu, Wa. Lagian, sekarang gue udah insaf, kok. Janji deh, gue nggak bakalan mainin perasaan orang lain lagi, terutama elo.” Clara menyodorkan jari kelingkingnya pada Dewa.

Dewa tersenyum. Sikap Clara memang random. Kadang terlihat gila, kadang tampak dewasa, dan kadang juga kekanak-kanakan. Tapi lebih banyak gila dan nekatnya.

“Iya. Gue percaya. Nggak usah pake janji kelingking! Kita udah mau delapan belas tahun. Cukup saling memahami aja!” cetus Dewa yang terdengar tak seperti biasanya.

Clara mengangguk. Setelah itu, ia memandang ke depan sembari menikmati hembusan angin malam yang sejuk. Tak pernah Clara bayangkan, ia akan berpacaran dengan Dewa. Sungguh hidup ini penuh kejutan. Clara sempat mengira, bahwa hidupnya akan hampa setelah putus dari Gavin yang sangat dicintai. Akan tetapi, Tuhan seolah telah memiliki rencana lain untuknya. Rencana yang tak pernah Clara sangka.

Sesampainya di tempat tujuan, Clara turun dari sepeda Dewa. Ia berjalan memasuki kafe seorang diri sambil sesekali melihat Dewa yang melambaikan tangan dan tersenyum padanya.

Setelah Clara memasuki kafe, Dewa hendak kembali mengayuh sepeda. Akan tetapi, seseorang menghampiri. Orang itu menyodorkan sebuah pisau kecil pada Dewa seraya mendekat pada telinga murid laki-laki itu.

“Jangan teriak atau berontak, kalo masih mau hidup!” bisik pria dengan tatto kincir angin di pergelangan tangan kanannya.

Tak ada pilihan lain. Di saat seperti ini, Dewa hanya bisa menurut demi keselamatannya. Untuk sementara, menurut saja, sambil memikirkan rencana untuk menyelamatkan diri.

Rahasia Kita [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang