Hari Minggu yang tenang menyambut Dewa. Kehidupan normalnya telah kembali. Ponselnya tak lagi terus bergetar oleh pesan dari Clara. Dewa tak lagi menjadi kurir makanan gratis. Dan yang terpenting, Dewa bisa belajar sehari penuh untuk menghadapi UTS yang akan digelar besok.
Sebenarnya tanpa belajar pun, Dewa tetap bisa mempertahankan posisinya sebagai sang juara. Namun, ia tak ingin lengah. Di usianya sekarang ini, ia harus banyak belajar dan mendapatkan poin lebih, agar di masa depan nanti, ia bisa berhadapan dengan ayah kandungnya dan membuktikan bahwa ia hidup dengan baik walau tanpa seorang ayah.
Seperti biasa, Dewa menguji dirinya dengan mengerjakan beberapa soal yang didapat dari internet. Entah harus disebut gila belajar atau menyiksa diri. Dewa seolah tak mau membiarkan otaknya istirahat walau hanya sehari. Hampir semua buku latihan yang dimiliki sudah dikerjakan. Bahkan materi untuk semester dua, sudah Dewa kuasai. Dengan kemampuan Dewa yang sehebat itu, banyak orang yang menyayangkan keputusannya menolak program akselerasi dan lebih memilih jurusan IPS. Menurut para guru, Dewa lebih cocok jika masuk jurusan IPA, mengingat kemampuan berhitung dan menghafalnya sangat cepat. Sayangnya, Dewa memiliki pemikiran sendiri tentang masa depannya kelak.
Beberapa saat kemudian, terdengar suara seseorang mengetuk pintu kamar. Dewa bangkit dari tempat duduk untuk membuka pintu. Ketika pintu terbuka, terlihat Bu Patmi berdiri dengan sebuah nampan berisi makanan dan segelas susu.
“Ini sarapannya, Den!” kata Bu Patmi ramah.
“Aku hari ini mau sarapan di luar. Bawa balik aja makanannya!” tolak Dewa.
“Baik, Den!”
Tanpa protes, Bu Patmi membawa kembali makanan yang dibawa sesuai perintah dari anak majikannya. Wanita paruh baya itu tahu, bagaimana sifat Dewa yang sangat keras kepala. Sekali menolak, pemuda itu tak bisa dipaksa.
Selepas Bu Patmi pergi, Dewa menutup pintu kamarnya kembali. Entah apa yang baru saja merasukinya. Seharusnya ia konsentrasi belajar di rumah. Akan tetapi, laki-laki itu seperti tak mengenali dirinya yang bersikap aneh sejak kemarin. Hari-hari damainya serasa ada yang kurang.
Dewa meraih dan mengenakan hoodie yang tergantung di depan almari. Tak lupa, ia menyambar topi yang bertengger di atas meja dan memakainya. Penampilan Dewa cukup mencolok, karena mengenakan hoodie dan topi berwarna hitam. Ya, penampakannya seperti agen rahasia yang ada di drama-drama aksi.
Pemuda berwajah tirus itu keluar dari kamar. Lalu, memasuki lift menuju lantai satu. Dari luar, Dewa tampak diam. Namun, saat ini perasaan dan logikanya tengah beradu. Entah apa yang sebenarnya terjadi pada dirinya. Si pengganggu yang tiba-tiba menghilang seolah mampu mengguncang dunianya.
Sesampainya di lantai satu, pintu lift terbuka. Dewa melangkahkan kaki keluar lift menuju pintu keluar bangunan bagian belakang. Ketika berada di halaman belakang, Dewa melihat ibunya tengah menyiram bunga. Dewa melenggang begitu saja menuju tempat ia biasa memarkir sepeda.
“Dewa!” panggil sang ibu. Si pemilik nama berhenti. Ia menoleh dan menatap ibunya penuh tanya.
“Kamu mau kemana?” tanya Nyonya Diana.
“Keluar,” jawab Dewa singkat sembari kembali berjalan.
Nyonya Diana memerhatikan sang putra dengan menghela napas. Sekalipun wanita itu tampak diam dan tak peduli. Namun, sebenarnya ia tahu apa yang dialami sang putra akhir-akhir ini. Ia juga tahu, bahwa Dewa dan anak pertama Juan Anggara, Rizal, akhir-akhir ini sering berinteraksi. Ya, walau interaksi itu selalu diawali oleh Rizal terlebih dahulu.
“Sepeda kamu udah lusuh. Sering rusak lagi. Mau Mama beliin sepeda baru? Atau kamu pengen motor baru?” tawar Nyonya Diana.
“Nggak usah,” balas Dewa dengan menaiki sepeda.
KAMU SEDANG MEMBACA
Rahasia Kita [END]
Teen FictionDewananda Pradipta, pemuda berusia 17 tahun yang sengaja menutup diri dari orang lain. Bukan tanpa alasan, Dewa menjadi sosok yang sangat tertutup. Ia memiliki banyak rahasia yang disembunyikan. Saking tertutupnya, Dewa nyaris tak pernah berbicara d...