Rutinitas Dewa kembali seperti sebelum Clara masuk ke hidupnya. Tak ada lagi orang yang mengirim pesan dan memerintahnya sesuka hati. Tak ada lagi orang yang membuat jadwal belajarnya berantakan. Memang seharusnya seperti itu. Dewa tentu harus kembali menikmati hidupnya yang tenang. Dengan begitu, laki-laki tampan itu bisa kembali konsentrasi mengejar cita-citanya.
Dewa membaca buku tebal di perpustakaan. Matanya fokus menatap deretan huruf berjejer membentuk kata demi kata. Beberapa saat kemudian, ponselnya bergetar. Tangan putih pemuda itu meraih ponsel tanpa mengalihkan pandangan dari buku. Setelah mendapatkan benda pipih tadi, Dewa memeriksa pesan yang masuk.
[Gue mau ngomong sesuatu. Gue tunggu di rooftop. Kalo lo nggak dateng, gue bakal bikin lo dateng.]
Dewa lekas mengantongi ponselnya. Kemudian, beranjak berdiri dengan membawa buku tebal yang dibacanya tadi. Ia pikir, Clara tak akan mengganggunya setelah apa yang dikatakan tadi malam. Namun, sepertinya perkiraan Dewa salah. Clara masih tetap mengganggunya.
Pemuda 17 tahun itu berjalan keluar perpustakaan. Ia melihat arlojinya untuk mengetahui waktu yang masih tersisa. Masih 15 menit lagi sebelum masuk kelas. Dewa semakin mempercepat langkah. Ia bahkan sampai berlari untuk menghemat waktu.
Sesampainya di rooftop, indera penglihatan Dewa menangkap Clara tengah berdiri sambil memandang halaman sekolah. Dewa mendekat pada Clara dengan banyak pertanyaan yang menghantui kepala.
“Ada apa?” tanya Dewa.
Clara menoleh, memandang Dewa. Ia menunjukkan layar ponselnya yang menampakkan video Dewa memasuki Rumah Bunga. Kemudian, Clara menghapus video tersebut di depan Dewa.
“Videonya udah gue hapus. Itu berarti, mulai hari ini, kita nggak ada urusan apa-apa lagi,” ujar Clara.
“Ya udah.” Dewa membalikkan badan, berniat untuk pergi karena ia pikir urusannya sudah selesai.
“Ayo kita pacaran beneran!” teriak Clara tiba-tiba.
Seketika Dewa menghentikan langkah. Entah apa lagi rencana Clara. Dewa bahkan tak bisa menebaknya. Gadis itu terlampau ajaib, sehingga Dewa kesulitan menanganinya. Bahkan menangani perasaannya sendiri untuk tak tertarik pada Clara.
“Gue nggak ada waktu buat pacaran!” tolak Dewa tanpa pikir panjang. Lalu, kembali berjalan.
Clara tak tinggal diam. Ia berlari dan berhenti tepat di depan Dewa untuk membuat Dewa berhenti. “Gue cuma becanda, Wa! Anjir, gampang banget nge-prank lo!” Clara tertawa puas melihat ekspresi serius Dewa.
Jujur saja, mendengar pernyataan Clara barusan membuat Dewa kecewa. Lagi dan lagi, Clara mempermainkan perasaannya. Murid perempuan itu kerap membuat hati Dewa melayang, kemudian membantingnya hingga jatuh ke tempat paling bawah.
“Nggak lucu,” ucap Dewa, memberi respons. Setelahnya, laki-laki itu kembali berjalan menuju pintu keluar rooftop. Dia yang menolak, tapi dia sendiri yang kesal. Entah perasaan macam apa yang Dewa rasakan sebenarnya.
Clara memandang punggung Dewa yang semakin menjauh. Ekspresinya berubah tatkala Dewa pergi. Sesungguhnya Clara serius tentang pengakuannya. Hanya saja, ia merasa, bahwa sangat memalukan karena Dewa menolaknya. Itulah mengapa, Clara bersikap seolah tengah mempermainkan Dewa.
***
Di jam istirahat kedua, Clara tak bergabung dengan Maudy dan Rendra di kafetaria. Ketika dua sahabatnya itu mengisi perut, Clara malah pergi ke lapangan basket. Kebetulan, di sana ada beberapa anggota tim basket yang sedang berlatih. Kedatangan Clara seketika menjadi pusat perhatian anggota tim basket andalan SMA Pilar Nusantara tersebut.
KAMU SEDANG MEMBACA
Rahasia Kita [END]
Teen FictionDewananda Pradipta, pemuda berusia 17 tahun yang sengaja menutup diri dari orang lain. Bukan tanpa alasan, Dewa menjadi sosok yang sangat tertutup. Ia memiliki banyak rahasia yang disembunyikan. Saking tertutupnya, Dewa nyaris tak pernah berbicara d...