Suara gelak tawa anak muda terdengar nyaring di depan sebuah mini market. Empat remaja tersebut saling menceritakan hal lucu yang dialami. Salah satu dari mereka mengenakan seragam SMA, sementara sisanya mengenakan seragam SMP. Seorang pemuda dengan tagname Gavin Alexandre merangkul pundak gadis di sampingnya.
“Ra, kalo udah lulus, lo mau sekolah di mana?” tanya Gavin pada Clara, murid SMP yang duduk di sampingnya.
“Gue mau sekolah di sekolah yang sama kayak Kak Gavin,” jawab Clara polos.
“Kalo kalian?” Kini, Gavin bertanya pada Rendra dan Maudy.
“Nyokap gue sih, nyaranin supaya masuk SMA Adhyaksa. Tapi, gue mau ke SMA Pilar Nusantara aja. Kebetulan, bokap gue dukung gue masuk ke sana,” balas Rendra, diselingi makan kentang goreng.
“Kalo gue, sama kayak mereka berdua. Soalnya mereka berdua bestie gue,” beber Maudy dengan merangkul pundak Rendra dan Clara.
Gavin mengangguk, mendengar jawaban dari para sahabatnya. Ia lega, karena akan kembali satu sekolah dengan mereka. Walau berbeda satu tingkat, setidaknya dua tahunnya akan dihabiskan bersama tiga sahabat dekatnya itu.
“Kita foto bareng, yuk! Kebetulan, sepupu gue nitipin kameranya ke gue.” Maudy mengeluarkan sebuah kamera model terbaru dari tas.
“Woah, kebetulan banget. Kak Gavin, atur timer-nya, gih!” perintah Clara.
Clara, Maudy, dan Rendra sudah berpose. Sedangkan Gavin, selepas mengatur timer pada kamera baru ikut bergabung. Ia berdiri di samping Clara dan merangkul pundak Clara sambil tersenyum ke arah kamera. Rangkulan hangat dari Gavin membuat dada Clara bergemuruh secara mendadak. Sebelumnya, ia tak pernah merasa seperti ini. Clara melirik Gavin malu-malu.
Ingatan dua tahun lalu terlintas di kepala Clara. Tangan putihnya menggenggam foto yang menjadi saksi persahabatan empat sekawan tersebut. Sekalipun kerap terlihat bersikap dingin pada Gavin. Sebenarnya, Clara sangat merindukan saat-saat kebersamaannya dengan pemuda yang satu tahun lebih tua darinya itu. Sayangnya, keadaan saat ini sudah sangat berbeda. Ia dan Gavin sama-sama mengedepankan ego.
Clara memasukkan foto tersebut ke dalam tas. Ia mengusap area mata yang sedikit basah. Berusaha tampil ceria di depan semua orang adalah cara Clara melupakan rasa sakitnya. Hanya segelintir orang yang mengetahui permasalahan Clara dan Gavin.
Bus berhenti di halte depan sekolah. Clara dan beberapa murid lain turun dari bus. Perut Clara berbunyi, pertanda minta diisi. Ia celingukan, seolah mencari sesuatu. Di seberang jalan sekolah ada banyak pedagang menjajakan makanan. Tapi, Clara malas menyeberang. Kendaraan di pagi hari sangat padat. Bisa-bisa ia terlambat masuk hanya karena menunggu untuk menyeberang.
Clara kembali berjalan menuju pintu gerbang sekolah. Clara pikir, ia masih bisa menahan rasa laparnya sampai jam istirahat pertama. Saat memasuki area sekolah, Clara melihat Rendra melambaikan tangan padanya. Dengan semangat, Clara berlari ke arah Rendra.
“Nih!” Rendra menyodorkan sebuah kantong plastik pada Clara.
Clara menerima makanan pemberian Rendra dengan senang hati. “Lo tahu aja kalo gue belum sarapan.”
“Tahu, dong! Kita 'kan belahan jiwa.” Rendra mengacak puncak kepala Clara sembari terkikih.
“Oh iya, hari ini lo ada lomba matematika, 'kan?” tanya Clara.
Rendra mengangguk, memberikan jawaban. Clara membuka tas dan mengeluarkan sesuatu. Ia memberikan sebuah pensil pada Rendra.
“Itu pensil udah gue kasih mantra. Lo harus pake buat lomba nanti biar menang!” tutur Clara.
KAMU SEDANG MEMBACA
Rahasia Kita [END]
Teen FictionDewananda Pradipta, pemuda berusia 17 tahun yang sengaja menutup diri dari orang lain. Bukan tanpa alasan, Dewa menjadi sosok yang sangat tertutup. Ia memiliki banyak rahasia yang disembunyikan. Saking tertutupnya, Dewa nyaris tak pernah berbicara d...