15. Penolakan Dewa

102 5 44
                                    

Suasana kafetaria sangat ramai. Jam makan siang sudah hampir usai. Tapi, para murid malah berdatangan ke kafetaria. Sebagian dari mereka merupakan murid-murid yang mengikuti pelajaran tambahan. Sisanya adalah anak-anak OSIS yang baru menyelesaikan rapat mereka.

Rendra menenteng makanannya menuju tempat yang biasa diduduki dengan dua sahabatnya, Clara dan Maudy. Kedatangan Rendra tak disambut baik oleh Clara. Terbukti, saat pemuda itu datang, Clara justru hendak pergi.

“Eh, mau kemana?” tanya Rendra sembari duduk di kursi kosong samping Maudy.

“Balik!” jawab Clara ketus.

“Gue 'kan baru dateng, masa lo udah mau balik ke kelas? Temenin gue makan bentar napa!” pinta Rendra yang kini memasukkan satu sendok nasi ke mulutnya.

“Masih butuh temen lo?” Clara kembali duduk. Ia menatap Rendra tajam, seolah menyimpan dendam.

Rendra tertawa melihat ekspresi Clara. Bukannya Rendra tak tahu penyebab gadis itu merajuk padanya. Rendra tahu, bahwa Clara marah karena saat pelajaran matematika tadi, Rendra tak membalas pesan dari Clara yang meminta contekan.

“Dy, nggak usah ditemenin orang kayak Rendra ini! Dia pinter tapi kikir,” hasut Clara pada Maudy.

Rendra masih melanjutkan kegiatan makannya. Sementara Clara memberi kode pada Maudy agar ikut pergi bersamanya. Namun, Maudy seolah tak memedulikan kode dari Clara dan malah sibuk memakan camilan.

“Lo nggak lupa sama taruhan kita, 'kan?” kata Rendra tiba-tiba.

“Lupa? Lo kira gue nenek-nenek pikun!” balas Clara dengan suara keras.

Rendra mendekat pada Clara sembari tersenyum miring. “Siapin duit lo! Karena bulan depan, lo bakal ngeluarin banyak duit buat bayar makan gue.”

Clara tertawa menanggapi perkataan Rendra. Waktunya masih tersisa tujuh hari untuk mendapatkan Dewa. Tapi, Rendra sudah sangat percaya diri bahwa ia akan memenangkan taruhan kali ini. Sungguh Clara merasa tergelitik.

“Lo jangan seneng dulu, Ren! Justru elo yang harus nyiapin diri buat ngerjain tiga tugas sekolah sekaligus. Tugas gue, tugas Maudy, dan tugas lo sendiri.” Clara membalas sambil menepuk pundak Rendra.

Di tengah perang dingin Rendra dan Clara, Rizal datang dengan membawa satu kotak makan. Seolah sudah terbiasa, ia duduk di kursi kosong dekat Clara. Kedatangan Rizal cukup membuat Rendra heran, mengingat tempat duduk tersebut biasanya kosong. Sebelumnya, tempat duduk itu diduduki Gavin saat hubungannya dengan Clara masih baik.

Rendra memandang Maudy, seolah bertanya tentang Rizal. Tapi, Maudy menjawabnya dengan mengangkat kedua pundak. Sedangkan Clara sibuk ikut makan makanan yang Rizal bawa.

“Lo pasti yang namanya Rendra, 'kan?” sapa Rizal seraya menunjuk Rendra.

“Iya. Lo kok bisa tahu?” balas Rendra heran.

“Ren, di sekolah ini, siapa sih yang nggak kenal lo? Si murid teladan yang wara-wiri ikut lomba sampe tingkat provinsi dan langganan peringkat dua seangkatan.” Clara menimpali tapi dengan nada meledek.

Rizal dan Maudy tersenyum, karena reaksi Rendra cukup menggemaskan. Kata ‘langganan peringkat dua seangkatan’ membuat Rendra ingin menyumpal mulut Clara. Jujur, Rendra benci dengan fakta itu. Tapi, mau bagaimana lagi, apa yang Clara katakan memang fakta. Rendra selalu menjadi nomer dua.

“Kebetulan, bokap gue sama bokap lo cukup akrab. Kata bokap gue, bokap lo sering cerita soal prestasi lo yang hebat,” ungkap Rizal yang kini ingin mengakrabkan diri dengan Rendra.

“Oh, gitu. Bokap lo jaksa juga?” Rendra membalas setelah menghabiskan makan siangnya.

Rizal mengangguk dengan tersenyum. Lalu, melanjutkan kegiatan makannya. Pernyataan Rizal membuat Rendra merasa semakin tak nyaman berada di keluarganya. Rendra memang mendapatkan segalanya, tapi diharuskan menjadi yang terbaik dalam banyak hal. Sejujurnya, Rendra sangat lelah dan tertekan.

Rahasia Kita [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang