Padahal masih pagi tapi hati di buat semakin tidak bisa tenang, Setelah melihat Fia yang telah kembali bersekolah membuat Rifa selaku sahabatnya semakin cemas, setelah Fia duduk Rifa sesekali memperhatikannya bahkan begitu juga saat kegiatan belajar mengajar sudah di mulai, Rifa benar-benar jadi kesulitan untuk fokus belajar, ia sangat ingin bertanya pada Fia mengenai kondisi Rafa, keinginannya untuk bertanya terus semakin meningkat.
Lebih gesit dari siapapun, sepersekian detik setelah bel istirahat baru saja di bunyikan Rifa langsung menghampiri Fia yang biasa menenpati bangku paling belakang. Saat Fia masih sedang merapihkan buku dan alat tulisnya untuk di masukan ke dalam tas, Rifa memanggilnya,
"Fia."
Mendengarnya Fia langsung menoleh, setelah mengetahui yang memanggil dirinya adalah Rifa iahanya melihat sejenak lalu kembali menunduk melihat ke tasnya, terlihat jelas ekpresi wajahnya yang benar-benar merasa jengah pada Rifa, perasaannya masih campur aduk terlebih lagi setiap mengingat bahwa Rifalah perempuan yang Rafa idamkan, padahal baginya Rifa tidak layak karena Sifat Rifa yang selalu menyepelekan dan kurang memperdulikan Rafa, Fia merasa sangat tidak nyaman berada di dekat Rifa,
Fia kembali menoleh, menghela nafas lalu bertanya,
"Apa, Rif?!" tanya Fia sebal.
"Lu udah selesai Program Studi-nya?"
"Ya udahlah! kalo belum selesai gua ga akan ada di sini!" Jawab Fia dengan nada ketus mulai kesal pada Rifa.
Rifa menganggukan kepala,
"Emm...kalo Rafa gimana kabarnya sekarang?"
Mendengarnya kekeselan semakin memuncak, kepolosan Rifa dalam bertanya benar-benar membuat Fia kesal, Fia berpikir, bagaimana bisa Rifa yang sedekat itu dengan Rafa sedikit pun tidak mengetahui keadaannya,
"Kabar Rafa?!"
Fia sedikit memicingkan matanya, mendekat ke Rifa lalu memelototinya,
"Lu kan sahabatnya, setidaknya kalaupun Rafa ga ngehubungi gua atau anak-anak yang laen..."
"Harusnya lu tahu kabar dia!!" Ucap Fia menohok dengan tangannya mendorong pundak Rifa,
Rifa mengerjapkan matanya, ia sangat tidak menyangka dengan respon yang Fia tunjukan,
"Kalo lu mau tahu, cari tahu aja sendiri!"
Fia meninggalkan Rifa begitu saja bergegas keluar dari Kelas.
Rifa merasa di tampar oleh perkataan Fia, sejenak diam tertunduk matanya mulai berkaca-kaca, bukan merasa marah atau pun kesal atas perkataan Fia padanya justru malah jadi merasa bersalah karena sudah terlalu mengabaikan Rafa, sahabatnya sendiri sedari kecil yang selalu setia menemaninya dalam kondisi apapun, mengusap dengan jemarinya, Rifa berusaha menahan air matanya yang hampir menetes, Rifa benar-benar merasa sudah menjadi sahabat yang kurang baik untuk Rafa.
Sepi semakin menggerogoti, sehari-harinya bahkan hampir sebagian besar waktu yang Rafa habiskan di Rumah Sakit ia jalani seorang diri, sesekali Sang Ibu datang saat sudah pulang bekerja atau pun sedang tidak bekerja, walau begitu Rafa sangat memahami kondisi Ibunya yang tidak selalu bisa menemaninya.
Siang hari saat sedang duduk di kursi panjang halaman taman Rumah Sakit, Sang Ibu memanggil Rafa lalu menghampirinya sambil menjinjing goody bag,
"Rafa."
Mendengarnya Rafa menoleh, ia tidak percaya dengan apa yang di lihatnya,
"Ibu, bukannya lagi kerja??" tanya Sang anak heran.
"Sekarang lagi jam istirahat tadi Ibu udah izin bentar ke Atasan mau kesini dulu, tadi juga abis dari rumah."
Rafa menjulurkan tangannya lalu menyalami Sang Ibu,
KAMU SEDANG MEMBACA
FIRST & LAST
Teen Fiction"Aku hanya tidak ingin terlihat lemah di depan perempuan yang aku suka!" Begitulah ucap Rafa Arata yang dengan gigihnya ingin selalu bisa menyenangkan hati pujaan hatinya. Apapun itu ia lakukan, meskipun sebenarnya ada suatu kendala besar yang ia mi...