"Cukup bawa barang yang urgent saja, mengerti?" tanya pria yang tengah sibuk mondar-mandir untuk memastikan seluruh keperluannya terlengkapi.
Hembusan napas terdengar begitu berat, seberat hati berkemas untuk yang ke sekian kali. "Kita akan pindah lagi?" tanyanya malas.
"Iya, kita akan kembali ke rumah lama. Tidak perlu khawatir, papa sudah atur semuanya untuk Win, pakaian, sekolah, semuanya." jelas Gulf.
Kalimat itu, tak ada satu pun kata dari mulut Gulf yang menarik bagi Win. Sejak saat kematian orang terkasih dalam hidupnya, apa lagi yang berharga bagi Win? Jika tidak memiliki janji pada mendiang daddy-nya, mungkin Win sudah menyusul Mew sejak lama.
Empat tahun berlalu, bocah dengan hati lebam dihantam pahitnya kenyataan kini telah tumbuh menjadi remaja berhati kelabu sebab menjadi bulan-bulanan pekatnya kesepian yang membalut rasa kehilangan.
Tak ada lagi air yang jatuh dari pelupuk mata bukan menandakan kelapangan hatinya, itu hanya isyarat bahwa perasaan yang mati telah menimbun setumpuk ekspresi.
"Sampai kapan akan seperti ini? Menyesuaikan diri juga bukan hal yang mudah." ucap Win seraya menarik koper miliknya.
"Win, ini semua demi masa depanmu. Papa perlu membiayai pendidikanmu, dan menyediakan kehidupan yang nyaman untukmu. Sedikit saja, apa kau tidak bisa mengerti keadaan Papa?"
Sedikit? Seandainya Win bisa, rasanya Win ingin tertawa.
Empat tahun adalah waktu yang sedikit untuk Gulf? Selama empat tahun Win memenjarakan perasaannya dan menjadi budak dari ego Gulf, Papanya sendiri.
Gulf mengajak Win pindah, menyeret Win jauh dari tempat dimana Win bahkan hanya mampu untuk melihat sebuah nama yang terukir di atas nisan. Tidak hanya itu, Win bahkan harus menyaksikan pernikahan Kao dengan Gulf, hal kedua yang sangat ingin Win tentang setelah kematian Mew tapi Win tak mampu.
Gulf terus melakukan semua hal semaunya, seperlu berkembangnya bisnis yang ia dan Kao jalani. Kadang kala, Kao harus pindah ke negara lain untuk membuat cabang baru dari perusahaan miliknya. Gulf tak pernah menyia-nyiakan kesempatan sekecil apapun itu, Gulf juga mendirikan cabang furniture di negara yang sama. Mereka akan menetap di kota itu sampai cabang milik Gulf berkembang, mau tidak mau dan suka tidak suka Win harus menuruti apa yang Gulf katakan, sekolah di mana, berteman dengan siapa, lakukan apa, pergi ke mana. Win hampir pindah sekolah setiap pergantian semester, dan itu jelas membuat Win kesulitan untuk menemukan seorang yang bisa disebut sebagai teman.
Seperti saat ini, Win yang bahkan telah duduk di kelas tiga bangku sekolah menengah atas harus kembali pindah sekolah meski baru tiga bulan usai kepindahannya.
Meskipun begitu, Win tidak terlalu keberatan dengan keputusan pindah yang Gulf ambil kali ini, karena Gulf berjanji pada Win bahwa mereka akan tinggal di rumah lama mereka, kediaman yang penuh dengan kenangan hangat yang tak akan usai dalam kepala Win tentang dirinya dan Mew.
Win sudah memutuskan, setelah dirinya lulus, Win tidak akan mengikuti Gulf lagi, Win lebih baik hidup mandiri, tidak apa hidup tanpa wali.
"Win, Daddy janji, kali ini adalah yang terakhir." balas Kao yang menghampiri Gulf.
Win tak menghiraukan, bajingan itu tak pernah mendapatkan izin dari Win untuk menggantikan posisi Mew dalam hidupnya, sekalipun Kao telah menikah dengan Gulf, Kao hanya menjadi pasangan Gulf, bukan Daddy untuk Win.
"Mau kemana, Win?" tanya Gulf yang kini tengah berada nyaman dalam dekapan tangan Kao.
"Dia sudah cukup besar, tapi masih keras kepala." gumam Gulf ketika Win menaiki tangga tanpa menggubris pertanyaannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
ENNUI 2 : PERFECT
Fanfiction"Kau selalu terobsesi dengan kesempurnaan, aku akan menunjukkan padamu apa itu sempurna." Kehidupan terkadang membuat manusia kalap, ambisi mereka untuk meraih kata sempurna membangkitkan keegoisan dalam jiwa. Tak akan ada kata sesal dalam hidup si...