Sudah hampir lima tahun sejak Gulf terakhir kali melihat wajah putranya, Win. Bayangan anak lelaki yang dulu sering ia abaikan masih terus menghantui pikirannya setiap malam. Setiap kali ia menutup mata, Gulf melihat mata Win yang penuh kebingungan, menatapnya saat ia memilih Alice, anak dari Kao, selingkuhannya. Keputusan-keputusan yang dulu terasa benar kini menggerogoti jiwanya.
Gulf berusaha melanjutkan hidup setelah perceraiannya dengan Mew. Hidupnya terasa hampa, seperti rumahnya yang terbakar beberapa tahun lalu. Setelah kebakaran itu, ia merenovasi rumahnya, bukan hanya secara fisik, tapi juga berusaha merenovasi hidupnya. Tapi, tak ada yang bisa menggantikan kehangatan dan kebahagiaan yang ia miliki dulu bersama Mew dan Win.
Gulf duduk di meja makan, menatap keluar jendela ke arah halaman rumah yang baru ia tata ulang. Hujan deras mulai turun, membawa hawa dingin yang merayap masuk melalui celah jendela. Tiba-tiba, bel pintu berbunyi. Gulf berjalan pelan ke arah pintu, merasa bingung siapa yang datang saat hujan begitu deras. Ia membuka pintu, dan berdiri di hadapannya adalah seseorang yang sudah lama ia rindukan.
Mew.
Gulf terdiam. Mew juga tidak bicara, hanya menatapnya dengan ekspresi yang sulit ditebak. Hujan terus mengguyur tubuh Mew, dan Gulf buru-buru menariknya masuk.
"Kau basah kuyup. Tunggu di sini, aku akan mengambilkan handuk," kata Gulf, buru-buru berlari ke kamar mandi untuk mengambilkan handuk.
Saat ia kembali, Mew sudah duduk di ruang tamu, memperhatikan sekeliling rumah yang tampak seperti dulu sebelum kebakaran. Ia menyeka wajahnya dengan handuk yang diberikan Gulf dan menghela napas dalam.
“Aku tidak akan lama di sini,” kata Mew akhirnya, suaranya datar, hampir tanpa emosi. "Aku hanya ingin berbicara tentang Win."
Gulf merasakan jantungnya berdetak kencang. Win. Nama itu adalah beban yang ia bawa setiap hari. “Bagaimana kabarnya?”
“Dia baik,” jawab Mew singkat. "Dia ingin bertemu denganmu."
Gulf mengerjap. Rasa bersalah, kegelisahan, dan harapan bercampur menjadi satu dalam hatinya. “Dia... dia benar-benar ingin bertemu denganku?”
Mew mengangguk, tatapannya tetap kosong. “Aku tidak akan pernah memaafkanmu atas apa yang kau lakukan pada Win. Tapi, aku pikir sudah saatnya dia melihat papanya lagi, setelah semua yang terjadi.”
Gulf ingin merespon, iingin menggatakan sesuatu yang bisa menghapus kesalahannya selama bertahun-tahun. Namun, kata-kata seakan hilang dari pikirannya. Ia hanya bisa menunduk, merasa beban di dadanya semakin menumpuk.
“Aku... tentu aku bersedia. Aku ingin bertemu dengan Win juga. Aku ingin mencoba memperbaiki semuanya, kalau itu masih mungkin,” jawab Gulf, suaranya serak. Tak lama kemudian, ada ketukan di pintu. Gulf dan Mew sama-sama menoleh, dan Gulf berjalan ke arah pintu untuk membukanya.
Di sana berdiri Win.
Anak yang dulu ia abaikan, yang dulu ia sakiti, sekarang berdiri di hadapannya sebagai seorang laki-laki yang tinggi dan tampak lebih dewasa dari usianya. Win menatap papanya dengan ekspresi yang sulit ditebak, ada kebencian, ada rasa rindu, dan ada luka yang begitu dalam.
“Win...” bisik Gulf, nyaris tak percaya bahwa anaknya benar-benar ada di depannya. "Papa..."
Win menatap Gulf dengan pandangan yang tajam, lalu menghela napas dalam. “Aku tidak tahu apa yang harus aku katakan,” kata Win, suaranya bergetar. “Aku sudah lama memikirkan saat ini. Tapi sekarang, aku di sini, dan aku tidak tahu bagaimana harus bersikap.”
Gulf hanya bisa menunduk, rasa bersalahnya membengkak. “Papa mengerti kalau Win membenci papa. Papa... Papa tidak pantas disebut papa. Tapi papa ingin mencoba memperbaiki semua ini. Papa benar-benar minta maaf, Win.”
KAMU SEDANG MEMBACA
ENNUI 2 : PERFECT
Fanfiction"Kau selalu terobsesi dengan kesempurnaan, aku akan menunjukkan padamu apa itu sempurna." Kehidupan terkadang membuat manusia kalap, ambisi mereka untuk meraih kata sempurna membangkitkan keegoisan dalam jiwa. Tak akan ada kata sesal dalam hidup si...